Andai saja menjalani hidup ini hanya perkara saat mengantuk harus tidur, saat lapar makan dan segala sesuatunya yang berpasangan sebagaimana mestinya, yang mana penyebab langsung bersanding dengan solusi. Sekali lagi andai saja. Bertambahnya umur, tingginya jenjang pendidikan dan banyaknya pengalaman yang telah dikecap, ternyata belum cukup untuk dijadikan bekal menjalani kehidupan yang seperti gudang tantangan. Hidup dalam rengkuhan impian, berteman perjuangan yang juga sepaket dengan kesedihan rupanya menjadi kisah yang sudah awam bagi setiap insan.
"Entah mengapa?" Mungkin kalimat tanya inilah yang mampu menggambarkan bagaimana kompleksnya sebuah rasa, rumitnya sebuah cerita dan peristiwa yang terjadi tanpa diketahui sebab asal muasalnya. "Tidak ada manusia yang tidak punya masalah", kalimat yang sering kita dengar, entah hanya sekedar untuk memotivasi manusia lain yang mulai lemah akan keadaan atau bahkan justru juga ingin menunjukkan bahwa masalahku lebih besar darimu ! tapi aku baik-baik saja. Jika pada penciptaannya manusia adalah makhluk sosial, sementara makna sosial yang lekat pada ingatan kita selama ini adalah tentang kebersamaan, simpati bahkan empati untuk sebuah rasa dan hal-hal lainnya yang erat kaitannya dengan kepedulian pada sesama. Tapi mengapa, kadang makna tak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada.
Mungkin saja nikmat yang direngkuh selama di dunia, ternyata telah sedikit mematikan empati dan simpati sebagai seorang manusia, tapi ini hanyalah kemungkinan. Toh, yang tau ya masing-masing dari kita, itupun jika menyadarinya. Lantas, dengan cara yang bagaimana seharusnya kesadaran itu muncul? Mengatakannya secara gamblang? Tentu tidak semua orang dapat melakukannya, ada yang karena takut, tidak enak atau bahkan memang tidak diberi ruang hanya untuk sekedar berpendapat. Ahh sayang sekali, di negara yang sudah lama menganut sistem demokrasi begini, ternyata masih ada saja kelompok yang membatasi geraknya hanya lewat kata.
Kurang lebih 1 dekade terakhir, penyakit yang marak berkembang di masyarakat kita, adalah penyakit mental. Ya, walaupun pengakuan akan keberadaannya masih sering dianggap sebagai hal yang tabu. Justru, ketabuan yang masih dipegang erat dalam masyarakat inilah yang membuat penderitanya enggan mengakui secara blak-blakan, karena dianggap seperti aib. Tapi, hei..apakah mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup para penderita "mental illness" tersebut? Bukannya selama ini, mereka justru menjadi beban penyebab juga yang kontribusinya paling banyak!
Sekian tahun hidup bergelut dengan perasaan, pikiran dan kesakitan sendiri. Pergi sejauh mungkin, mengembara seorang diri yang tidak lain dimaksudkan agar menemukan jati diri, menemukan jawaban yang tepat dan alasan atas semua yang terjadi dalam hidup. Ternyata selama ini aku hanya lupa dan lengah, bahwa bukan kesenangan juga ketenangan yang disajikan dunia yang aku butuhkan untuk mengobati lara yang dirasakan jiwa, tapi Tuhanku (Allah), aku lupa bahwa ada hubungan yang merenggang pada-Nya. Aku lalai bahwa "hablum minallah wa hablum minannas" (Hubungan makhluk dengan Allah SWT, dan hubungan bai kantar manusia satu dengan manusia lainnya). Aku lupa meminta pada sang Pencipta, lupa mengadu segala kesakitan dan kepedihan yang kurasa, yang ku tahu selama ini hanya mencari pengobatan untuk kesembuhan tanpa tahu pada siapa harus menuju.
Hingga akhirnya, mungkin setiap manusia akan mencapai pada titik terendah, bahkan untuk sekedar menyerah pun sudah tak mampu. Itulah saat yang tepat untuk tak berharap, tidak perlu risau atas apa perkataan manusia lain, karena sesungguhnya setiap manusia membaca dunia dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda. Kita tidak hidup hanya untuk sekedar menyenangkan hati banyak manusia, menerima semua pengakuan dunia, yang kita butuhkan adalah memenangkan diri sendiri atas segala keresahan dan kesakitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H