klik disini, tentulah saya sering berinteraksi dengan warga tetangga atau terkadang  saya diajak menonton dangdut di tempat hajatan.Â
Begini...saya cukup lama kerja buruh kebun diSaat itu di musim penghujan tahun 2017 dan 2018, saya sempat berpikir ada hal yang tidak wajar saat ada warga yang dapat melaksanakan hajatan ketika daerah di sekitarnya hujan turun dengan deras, sedangkan tempat di mana warga tersebut melaksanakan hajatan terlihat tidak kena hujan dan menyisakan mendung serta rintik rintik hujan yang turun sedikit.Â
Akhirnya rasa penasaran saya terjawab dari bisik-bisik warga sekitar, bahwa mereka yang melaksanakan hajatan ketika musim hujan, rata-rata mereka menggunakan jasa pawang hujan guna melancarkan hajatan yang mereka laksanakan. Hingga akhirnya hal tersebut membuat saya paham, bahwa di kala musim hujan sudah seharusnya turun, namun cuaca tetap cerah, maka tak jarang warga akan berceletuk seperti ini, "Pasti lagi ada hajatan."
Memang jasa pawang hujan dapat dikatakan perlu, apalagi jika acara hajatan dilaksanakan di desa, tentu waktu pelaksaan tidak hanya memakan waktu satu hari saja, namun lebih dari dua hari. Bahkan, bagi si pemilik hajat, persiapan pun dipersiapkan dengan lengkap, mulai dari pasang tarub di sekiling rumah, panggung besar untuk hiburan hingga bila perlu ada odong-odong juga beserta speakernya yang nantinya digunakan untuk arak-arak keliling kampung.Â
Dari cerita hajatan tersebut, tentunya pawang hujan yang bekerja untuk acara hajatan yang dilaksanakan ketika musim hujan harus bekerja ekstra keras. Kehadiran pawang hujan pun tak hanya dimanfaatkan oleh pelaksana hajatan, bahkan pengusaha galian atau sedot pasir pun memerlukannya untuk bekerja 24 jam di sekitaran desa Cimayasari.
Obrolan pawang hujan terus berlanjut ketika saya, Mang Udin, dan Satun pulang dari salat Jumat. Di jalan, kami ngobrol terkait hujan yang tidak kunjung turun di bulan Oktober 2019, padahal seharusnya sudah masuk musim hujan. Mang Udin pun menyeletuk, "Jangan harap ada hujan dulu, Pak."
"Loh kenapa, Pak?", sahut saya,
"Lagi ada hajatan, Pak." Sahut Pak Satun.
"Pakai pawang hujan ya?" Tanya saya meyakinkan.Â
Mereka pun menganggukan kepala dan mengiyakan sembari tertawa lirih dan menepuk pundak saya. Lalu, setelah obrolan itu, kamu pulang ke rumah masing-masing. Dan saya merasa kesal dan menggerutu dalam hati.