Mohon tunggu...
Singgih S
Singgih S Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Tani Kebun di Desa Cimayasari, Subang.

Omo Sanza Lettere Disini http/www.kompasiana.com/satejamur

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jejak Percobaan Pembunuhan Pejabat dan Kepala Negara oleh DII/TII

12 Oktober 2019   05:29 Diperbarui: 12 Oktober 2019   05:44 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berndera NII, Dok. Wikipedia

Idham dalam biografinya, Tanggungjawab Politik NU dalam Sejarah mengisahkan sepulang dari Bandung menuju Jakarta, Idham Chalid, Ketua I PBNU, menginap di Puncak. Tiba-tiba gerombolan DI/TII menembakinya dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang. Beruntung, segera datang bantuan tentara dari Cipanas. Kontak senjata berlangsung berjam-jam. Malam menjadi bising karena desingan peluru. Mereka lari menjelang subuh dengan menderita banyak korban jiwa dan luka-luka. Di pihak tentara juga ada yang terluka. Pengalaman lain yang dialami Idham ketika naik kereta api menuju Jawa Timur. Dia ditembaki gerombolan DI/TII antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung peluru hanya mengenai ujung kopiah ajudannya, H. Djumaksum. "Sasaran tembakan pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan," ungkapnya.

Demikian pula percobaan pembunuhan Kepala Negara, Presiden Soekarno. Menurut cerita ajudannya terjadi hingga tujuh kali. Dari tujuh kali percobaan, saya ambil tiga jejak peristiwanya:

Pertama pelemparan granat di Cikini tejadi pada tanggal 30 November 1957, Presiden Soekarno datang ke Perguruan Cikini (Percik) menghadiri perayaan ulang tahunnya dimana putra-putrinya bersekolah. Ditengah-tengah berlangsung penyambutan kedatangan Presiden tiba-tiba granat meledak, sembilan orang tewas, 100 orang terluka termasuk pengawal presiden sedang presiden beserta putra-putrinya selamat. Tiga orang ditangkap akibat kejadian tersebut. Mereka perantauan dari Bima yang dituduh sebagai antek teror gerakan DI/TII. 

Kedua, penghadangan di Rajamandala tejadi pada bulan April 1960, saat Presiden menyertai Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev sedang kunjungan kenegaraan, salah satunya melakukan perjalanan ke Jawa Barat, sesampainya di jembatan Rajamandala dihadang gerombolan DI/TII dengan sigap pasukan pengawal presiden meloloskan kedua pemimpin dunia tersebut. 

Ketiga penembakan pada 14 Mei 1962 saat sholat Idul Adha di lapangan terbuka di samping belakang Istana Negara, secara tiba-tiba terdengar letusan senjata api mengarah ke Presiden namun melenceng menyerempet Ketua DPRI GR KH Zainul Arifin lalu dengan sigap pengawal presiden meringkus, tersangka bernama Bachrum divonis hukuman mati namun kemudian mendapat grasi. 

Di beberapa wilayah terus dilakukan penumpasan pemberontakan bersenjata hingga perang bergerilya selama 13 tahun adalah perang antar anak bangsa yang paling berat dan kejam. Pemerintah pun melakukan pencegahan dengan membentuk KPK (Kiai-kiai Pembantu Keamanan) oleh Idham Chalid dan di ketuai oleh KH Muslich dari Jakarta, para anggotanya ditunjuk satu orang dari daerah konflik dan anggota lainnya dari berbagai wilayah Nusantara dan disambut baik pihak militer. 

Mereka dilibatkan dalam peninjauan dan operasi militer, salah satu tugasnya mereka menghubungi para kiai di daerah masing-masing untuk menyampaikan kesadaran itu karena gangguan keamanan yang berlarut-larut merugikan negara dan rakyat. Mereka melakukan kegiatannya melalui pengajian atau kegiatan lainnya. Mungkin belajar dari sejarah, pemerintah sejak tahun 2018 membentuk Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) oleh Presiden salah satunya meredam idiologi radikal.

Hingga akhirnya akhirnya pada tanggal 4 Juni 1962 Kartosoewirjo tertangkap di lembah antara gunung Sangkar dan Geber sekitar Bandung Selatan beserta pengawalnya dan melalui sidang militer, Kartosoewirjo divonis mati dan pada 5 September 1962 dieksekusi mati dan dikuburkan di pulau Ubi, kepulauan Seribu, sebelum dieksekusi mengeluarkan wasiat salah satunya dia meyakini bahwa suatu waktu cita-cita negara Islam bakal terlaksana walaupun lawan menentang. Mungkinkah 'wasiat' tersebut ada kaitanya teror yang terus terjadi di negeri Nusantara? Waspada! Idiologi tak bisa mati (SS)

 

Sumber: Dari berbagai sumber.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun