Sudarjo (65) perawakannya kecil tinggi dengan kulit coklat tua, ramah dan berprofesi petani, merangkap Pawang Tyto Alba dan seabreg aktivitas dengan menjabat Ketua di 12 (dua belas) kegiatan kemasyarakatan, seperti Ketua Gapoktan Sumber Makmur, Ketua Pertanian Desa dan Kecamatan, Ketua Irigasi Kecamatan, Ketua RW dan lainnya di lingkup Kecamatan Maos Kidul.
Darjo, demikian ia dipanggil, tinggal di Desa Maos Kidul, di mana warganya bisa dikatakan 90% petani turun-temurun dan letak areal persawahan mereka sangat ideal di tepian irigasi Sungai Serayu. Namun, letak ideal tersebut tidak menjamin kesejahteraan petaninya, salah satu penyebab dikarenakan hama tikus atau Ratus agentiventer hantu paling menakutkan bagi para petani. Betapa tidak, satu musim tanam padi bila terserang dapat turun hingga 40%–60% bahkan bisa tidak panen.
Tentu, berbagai upaya para petani mengatasi hama tikus sejak jaman dahulu kala tidak pernah membuahkan hasil, seperti gropyokan, menggunakan belerang, racun, dan mercon selalu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan sering terjadi serangannya malah semakin ganas. Pun demikian dengan irigasi yang baik, benih unggul, dan metode tanam yang baik ternyata tidak juga menjamin hasil panen, sering kali ludes diserang tikus
“Awal mula saya tahu ada Tyto Alba pemburu dan pemakan tikus secara tidak sengaja, ketika saya ‘lalar’ kontrol ke sawah selepas Magrib, sering mendengar suara wuzzz... diikuti suara cicit tikus ketakutan dan pada pagi hari di bawah tower listrik ditemukan bangkai tikus, lantas pada saat pertemuan rutin Kelompok tani saya usulkan membuat kandang ala kadarnya, sampai akhirnya kami mendapatkan pelatihan dan informasi cara memelihara Tyto Alba jenis Serak Jawa predator alami hama tikus,” ungkap Darjo mengenang awal mula ‘ngopeni’ menangkar Tyto Alba, tiga tahun yang lalu dan burung hantu selalu ia panggil Tyto Alba.
Tyto Alba jenis serak jawa dikenal juga dengan nama burung Hantu Barn termasuk hewan nocturnal yang sangat setiap dengan pasangannya serta tempat tinggalnya, namun tak bisa membuat sarang sendiri, mereka bersarang di rumah-rumah besar yang kosong dan di lubang-lubang yang tak jauh dari lokasi persawahan.
Semenjak saat itulah, Darjo dan kawan-kawannya membuat kandang ala kadarnya agar mereka dapat bersarang dekat persawahan, maka dibuatlah kadang yang sederhana terbuat dari bambu dan kotak kayu bekas di tengah persawahan, yang dikenal dengan nama Rumah Burung Hantu (Rubuha)
“Dikarenakan rubuha tidak permanen, belum genap satu tahun sudah mulai rusak terkena hujan dan panas serta diterpa angin, sehingga Tyto Alba kembali bersarang di rumah-rumah gedung yang kosong yang jaraknya cukup jauh dari lahan sawah, Tikus-tikus mulai mengganjang kembali tanaman padi,” keluh Darjo.
Membuat sarang burung Hantu (Rubuha) tidak semudah dibayangkan, Darjo beserta kawan-kawan mencari referensi ke sana-sini agar rubuha efektif dan si Tyto Alba betah tinggal di dalamnya. Tiang harus terbuat dari beton dan pondasi cakar ayam, mengingat tanah sawah yang lembek. Tinggi tiang 4 meter dari permukaan tanah. Kandang terbuat dari kayu dilapis kawat streaming dan disemen agar tidak panas di siang hari.
“Saat kami sedang dipusingkan dana guna membuat Rubuha secara permanen, tiba-tiba datang utusan dari Kantor Perwakilan (KPw) BI Purwokerto, kami diberi bantuan 40 unit Rubuha permanen di tengah sawah dan tidak lama kemudian giliran Pertamina Cilacap ikut membantu membuatkan Rubuha,” ujar Darjo Ketua Gapoktan Sumber Makmur, sembari tersenyum.
“Tyto Alba ini satwa malam hari, yang istirahat pada siang hari dan tidak senang terpapar sinar Matahari, maka pintu masuknya harus menghadap ke utara atau selatan, ditempatkan di tempat strategis di tengah sawah, guna menghindari gangguan manusia dan kebisingan, jarak antar rubuha antara 50 – 70 meter sehingga daerah teritorial perburuannya terbagi rata,” ungkapnya.
Saat ini, total ada sekitar 70 unit Rubuha permanen yang menjadi sarang sekitar 140 Tyto Alba guna mengamankan hamparan sawah petani dari serangan hama tikus. Mengingat seekor Tyto Alba mampu mengontrol lebih kurang 3 hektare sawah. Ini berarti kurang lebih 300 HA dapat terbebas dari serangan hama tikus.