Mohon tunggu...
Indri Hidayati Putri
Indri Hidayati Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Buku: Sayap-Sayap Patah - Kahlil Gibran

26 Juni 2024   22:25 Diperbarui: 26 Juni 2024   22:27 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Review Buku

Judul Buku : Sayap-Sayap Patah

Penulis : Kahlil Gibran

Penerjemah : Sapardi Djoko Damono

Jumlah hal. : 160 hlm.

Tahun terbit : 2011

Penerbit : Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka), Anggota Ikapi

 

"...Aku tidak cukup kuat untuk kesenangan dan manisnya kehidupan, sebab seekor buurng dengan sayap patah tidak dapat terbang di langist yang luas" -hal 138

Buku "Sayap-Sayap Patah" karya Kahlil Gibran ini, menceritakan tentang seorang tokoh "Aku" yang identitasnya tidak diketahui jatuh cinta pada seorang gadis bernama Selma Karamy anak dari teman masa muda ayahnya dahulu, yaitu Farris Effandi Kuramy. Tokoh 'aku' pria dengan Selma dipertemukan pada saat ia berkunjung ke rumah Farris Effandi, menjelma obat pelebur rindu atas masa muda dengan ayahnya. Setiap kali berkunjung, orang tua itu dengan semangat menceritakan kembali masa mudanya. Dengan melihat tokoh 'aku' dihadapannya, ia seolah-olah dibawa kembali pada masa muda, menceritakan kembali kisah-kisah masa lalunya seperti seorang penyair yang bahagia membacakan puisi yang paling bagus. Di sinilah mereka dipertemukan, Farris Effendi mengenalkan anak gadisnya. Pada pertemuan pertama itu pulalah tokoh 'aku' jatuh cinta pada Selma Kuramy.

"Kegelapan menyembunyikan pohon-pohon dan bunga-bunga dari penglihatan kita, tetapi ia tidak akan menyembunyikan cinta dari hati kita" - hal 51.

Kerlip mata dan senyuman Selma menjelma anggur dalam cawan, membuatnya candu. Pada dasarnya apa-apa yang telah digariskan nasib tidak bisa diubah oleh tangan manusia. Manusia hanya bisa menyerahkan dirinya dengan suka rela sembari mengubur kemalangan dan kesengsaraan hidup yang digariskan nasib. Begitu juga dengan tokoh 'aku' dan Selma yang tengah dimabuk cinta tak bisa menyatukan rasanya, takdir dengan tak berperasa memembuatkan jembatan pemisah antara keduanya. Yaitu, dipintanya Selma oleh seorang Uskup paling berpengaruh dan mempunyai 'kekuasaan' untuk kemenakannya, Mansoer Bey Galib.

Ini adalah buku ke-4 karya Kahlil Gubran yang kubaca, tiga buku lainnya belum sempat kubuatkan review. Mumpung aku baru merampungkan bacaanya, langsung saja kubuat sebelum nanti malas dan lupa. Sebelumnya pernah mendengar seorang penyair manca negera Kahlil Gibran?, membaca salah satu karyanya? Atau bahkan menjadi penyair favoritmu? Kalau belum, ayo baca!!

Judul asli buku ini Al-Ajnihah al-mutakassirah (bahasa Arab), diterbitkan pertama kali pada tahun 1922; sedangkan versi bahasa Inggrisnya berjudul Broken Wings. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagi versi dan tentunya juga merupakan salah satu buku bestseller karya Kahlil Gibran.

Siapa sih Kahlil Gibran ini?

Kahlil Gibran ini merupakan seorang sastrawan Amerika-Lebanon. Pada usia 12 tahun bersama orang tuanya Kahlil Gibran berimigrasi ke Benua baru dan tinggal di Boston, tetapi pada tahun 1912 kembali lagi ke Lebanon untuk belajar di Beirut dan untuk selanjutnya menetap di Amerika. Aku jatuh cinta pertama kali pada karya Kahlil Gibran itu saat membaca buku Cinta Dewa Dewi. Yang menurutku gaya bahasa metaforisnya sangat indah, sederhana tetapi maknanya dalam. seperti bagian ini:

"Aku ingin kau mencintaiku seperti seorang penyair mencintai pikiran-pikirannya yang pedih. Aku ingin kau mengingatku seperti seorang pengelana mengingat kolam tenang yang memantulkan bayangan dirinya ketika ia meminum airnya. Aku ingin kau mengingatku seperti seorang ibu yang mengingat anaknya yang meninggal sebelum anak itu melihat cahaya" -- hal 80.

"..Aku akan mencintaimu, Selma, seperti padang rumput yang mencintai musim semi, dan aku akan hidup di dalammu seperti kehidupan bunga di bawah sinar matahari.." -- hal 81.

Dengan menggunakan sudut pandang pertama, membuat aku seperti benar-benar dibawa untuk merasakan suasananya, kerinduan, kepasrahan, kemalangan, kesedihan, kesengsaraan, juga getirnya nasib Salama di ujung cerita. Cerita ini menggunakan latar cerita di Beirut abad ke-20 di mana masa itu nasib seorang gadis ditentukan oleh tangan Uskup. Karena masa itu Uskup lebih memiliki kuasa, ditakuti dan dihargai terlepas dari tindakan dan prilakunya yang tidak baik. 

Uskup mempertunangkan kemenakannya dengan Selma, Mansoer Bey Galib bukan karena kecantikandan kemuliannya, melainkan karena uang ayahnya yang akan menjamin Mansoer Bey menjadi kaya dan sejahtera yang akan membuatnya menjadi orang penting. Masa itu para pemimpin tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, mereka terus berusaha menjadikan seluruh anggota keluarganya mempunyai kekuasaan agar bisa dengan bebas menindas. Jadi, baik Farris Effandi maupun Selma tidak bisa menolak permintaan Uskup.

Aku ikut merasa iba dengan nasib Selma. Ia harus berpisah dengan orang terkasihnya, pernihakan yang ia jalani hanya menjelma sebuah racun untuk hidupnya. Suaminya hanya menjadikannya seorang wanita terjajah di rumahnya sendiri, diperlakukan layaknya barang tua di gudang rumah. Bahkan ketika Selma Kuramy meninggal dengan membawa anak yang baru ia lahirkan tak sedikitpun ia mengeluarkan air matanya.

Setiap kalimat yang kubaca dari buku-buku Kahlil Gibran seperti pengutaraan perasaan sebebas-bebasnya, menyembuyikan kerehasan dan kesedihan dibalik kata itu cocok untukku, cocok juga bagi teman-teman yang memang lebih senang menuangkan rasa yang hanya orang-orang tertentu yang bisa menangkap makna yang paham dengan apa yang kita ungkapkan. Dengan begitu, aku merasa cara pengungkapan dengan metaforing banyak memberiku ruang kebebasan. Terakhir,

"Orang boleh saja mengatakan apapun tentang aku karena roh yang sudah melihat hantu kematian tidak akan ditakuti oleh wajah-wajah pencuri; prajurit yang sudah melihat kilat pedang, di atas kepalanya dan aliran darah di bawah kakinya, tidak peduli pada batu-batu yang dilemparkan pandanya oleh anak-anak di jalanan" -- hal 127

"Menghadapi halangan dan kesulitan lebih mulia daripada mencari ketenangan. Kupu-kupu yang melayang-layang di seputar lampu sampai mati lebih mengagumkan daripada tikus mondok yang hidup dalam terowongan gelap" -- hal 104

Jadi, jika teman-teman suka dengan jenis bacaan yang penceritaannya metaforis, buku ini aku rekomendasikan. Selamat membaca teman-teman dan selamat mengarungi makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun