Tokoh utama bernama Zenna, anak tengah dari 11 bersaudara. Terlahir di keluarga yang serba pas-pasan, apalagi setelah Abak -- ayahnya Zenna meninggal dia harus menjadi tulang punggung keluarga sembari mengusahakan pendidikannya. Zenna ingin menjadi pemutus kesulitan keluarga, ia ingin membawa keluarganya keluar dari garis kemiskinan. Zenna sosok anak yang pintar, di sekolah ia selalu menjadi juara kelas dan mendapatkan nilai tertinggi. Pada awalnya Zenna hampir kehilangan harapan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi ada ibu Erita atau lebih akrab di sapa Ibu I'I yang membukakan jalan untuk tetap lanjut perguruan tinggi.
" Pergilah. Jadi insinyur, jadi pegawai, jadi guru, jadi apa aja yang hebat! Supaya makan enak dengan adik-adikmu." -- hal 18Â
Bagian ini berhasil membuatku terharu. Karena memang sesulit itu kondisi Zenna untuk bisa melanjutkan pendidikan, keadaan ekonomi yang menjepit dan adik-adiknya yang harus ia sekolahkan. Zenna seorang anak remaja harus menanggung beban ekonomi. Tapi, bagusnya tokoh Zenna ini diinterpretasikan sebagai tokoh yang pantang menyerah dan enggak pernah kehabisan akal untuk bisa mewujudkan impiannya. Semangatnya bergelora, dalam darahnya mengalir keyakinan bahwa dia bisa. Zenna itu tipe orang yang "Gue harus kuliah, gimanapun caranya. Harus". Pada Sipenmaru pertama, dia lulus menjadi peserta dengan nilai tertinggi tapi enggak Zenna ambil karena uang yang dia siapkan untuk daftar ulang harus ia pakai untuk biaya sekolah adiknya belum lagi dengan biaya semester yang menanti ia di depan. Menunda satu tahun, itu jadi pilihan Zenna.
Di satu sisi ada Asrul, dengan latar belakang dan ekonomi keluarga yang sama dengan Zenna. Seorang anak laki-laki yang tinggal kelas karena nilai bahasa Indonesianya yang enggak memnuhi standar kelulusan. Masa kecilnya ia habiskan untuk mencari belut yang kemudian ia jual ke pasar untuk membantu Umi. Asrul punya seorang adik bernama Irsal, keduanya punya cita-cita yang ingin di wujudkan. Asrul yang ingin membangun rumah untuk Umi dan Irsal ingin memberangkatkan Umi naik haji. Selepas lulus sekolah menengah, Asrul memilih untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah Pendidikan Guru sedangkan Irsal memilih untuk masuk pesantren. Berbeda dengan Zenna yang lulus tapi enggak di ambil, Asrul enggak lulus karena skornya masih kurang jadi ia juga memutuskan untuk mengikuti Sipenmaru lagi tahun depan. Sambil mempersiapkan Sipenmaru, Asrul bekerja di salah satu penerbit koran Harian Semangat. Di sanalah ia belajar menulis dan ikut mengkliping arsip koran.
Berbicara mengenai pendidikan, bagi seorang anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan memilih untuk melanjutkan atau enggak itu bagaikan berada di tepi jurang. Jika melanjutkan akan terperosok tapi kalo enggak melanjutkan bakal terjebak dengan keadaan yang sama. Dan kita sebagai anak yang ingin menjadi pemutus rantai kemiskinan dan ingin membawa keluarga pada keadaan yang lebih baik enggak ingin terjebak dikeadaan yang sama.
"Benar jika kau tak penah memilih lahir dari orang tua yang seperti apa. Begitu juga orang tuamu, mereka tak pernah memilih melahirkan anak yang seperti apa. Maka dapat tanggung jawab dan anugrah yang sama" -- hal 25Â
Selain menceritakan perjuangan Zenna dan Asrul yang berjuang menginginkan kehidupan yangv ebih baik juga banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa dipetik dari buku ini. Perjuangan ayah yang berusaha memberikan kehidupan yang layak dan ibu yang senantiasa melabuhkan doa-doa untuk anak-anaknya. Mengenai kehidupan kita saat ini, keadaan yang enggak kita mau, kesulitan ekonomi yang menghimpit bukan hal yang harus disalahkan pada kedua orang tua.
Untuk jalan cerita sendiri, menurutku enggak terlalu berat. Idenya hampir sama dengan cerita-cerita pada umumnya tapi penulis dengan gaya bahasa dan teknik penceritaan yang berbeda sekalipun premisnya enggak asing tetap jadi bahan bacaan yang ingin kuselesaikan dan  keadaan yang digambarkan sepanjang cerita ini tuh lebih realistis.
Aku membaca versi unedited di Google Play Books, ebook ini kudapat gratis ketika penulis sedang membuka gratis bagi siapa saja yang memenuhi syarat, dan kebetulan aku salah satu orang yang memenuhi syarat. Bisa jadi versi buku cetak isinya berbeda dengan ebook yang ku baca, tapi untuk jalan cerita sendiri pasti enggak akan jauh beda. Biasanya di versi cetak akan lebih lengkap dan detail.
Bab terakhir buku ini dibuka dengan kutipan "Ibumu punya retak. Ayahmu punya retak. Maafkan mereka adalah obat segala obat.". kutipan yang mengetuk hatiku yang salama ini masih saja memupuk kemarahan dan kecewa secara bersamaan. Kita enggak pernah tahu sedalam dan sesakit apa luka orang tua kita, barangkali sakitnya lebih sakit dari apa yang kita rasakan. Jadi, maafkanlah segala luka yang tiada sengaja tertoreh, ikhlaskanlah segala kecewa yang menerka.
Kesimpulan akhirnya buku ini sangat kurekomendasikan untuk dibaca dan jangan lupa siapkan tisu sebelum membuka bukunya. Happy reading!! Jika sudah membaca jangan lupa sharing.