Dalam Serat Kalatidha yang ditulis sekitar tahun 1861 ini merupakan kritik sosial profetis dimana ia menggambarkan akan datangnya masa sulit, yang disebut sebagai Zaman Edan. Pada zaman itu negara demikian kacau, undang-undang tidak dihargai dan rakyat semakin rakus dan loba. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa tulisan tersebut hanya ungkapan perasaan Ranggawarsita yang kesal terhadap raja.
Meskipun sudah menjadi pujangga kerajaan, namun kepangkatan yang dimiliki hanya Kliwon Carik, sebuah pangkat dibawah Tumenggung. Padahal pangkat seorang pujangga biasanya adalah Tumenggung. Ia juga pernah dijanjikan akan diangkat menjadi Bupati, namun janji itu tak kunjung tiba, bahkan akhirnya gagal sama sekali.
- Era Kalabendhu
Zaman Kalabendhu identik sebagai periode yang dipenuhi dengan berbagai bentuk malapetaka dan krisis, baik dalam aspek fisik maupun moral. Bencana dalam era ini tidak hanya tampak melalui penderitaan fisik seperti kemiskinan, penyakit, atau kekacauan sosial, tetapi juga melalui kerusakan nilai-nilai etika dan moralitas dalam masyarakat. Zaman Kalabendhu dianggap sebagai fase paling genting yang menandai puncak dari Zaman Kalatidha (sebuah era penuh ketidakpastian, kebingungan, dan hilangnya arah).Â
Pada tahap ini, keresahan dan keraguan masyarakat telah mencapai titik maksimal, seolah-olah mereka terjebak dalam siklus tanpa harapan dan arah yang jelas. Fenomena ini menggambarkan degradasi kondisi sosial dan spiritual, di mana kebajikan semakin memudar, sementara kejahatan, ketidakadilan, dan keputusasaan justru merajalela.Â
Ranggawarsita merumuskan keadaan ini sebagai Zaman Edan, sebuah periode di mana norma dan nilai moral semakin terabaikan, sementara perilaku menyimpang dan kepentingan pribadi mendominasi kehidupan masyarakat. Dalam salah satu bait ketujuh dari karyanya yang paling monumental sebagai berikut: "Amenangi Zaman Edan, Ewuh aja ing pambudi, Melu edan ora tahan, Jen tan milu anglakoni, Boja kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Dilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lan waspada". Artinya: "Mengalami Zaman Gila, Sukar sulit (dalam) akal ikhtiar, Turut gila tidak tahan, Kalau tak turut menjalaninya, Tidak kebagian milik, Kelaparanlah akhirnya, Takdir kehendak Allah, Sebahagia-bahagianya yang lupa, Lebih bahagia yang sadar serta waspada"
- Era Kalasuba
Setelah berakhirnya Zaman Kalabendhu, akan muncul Zaman Kalasuba, yang dikenal sebagai masa keemasan atau era kebaikan. Pada masa ini, segala bentuk kejahatan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan akan sirna, digantikan oleh tumbuhnya kebajikan dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia.
Zaman Kalasuba menandai pemulihan harmoni sosial, di mana masyarakat kembali menjunjung tinggi moralitas dan keadilan. Ramalan mengenai transisi dari Kalabendu menuju Kalasuba dapat ditemukan dalam salah satu karya monumental Ranggawarsita, yaitu Serat Sabda Jati yang berbunyi: "Iku lagi sirap jaman kala bendu, Kala suba kang gumanti, Wong cilik bisa gumuyu, Nora kurang sandhang bukti, Sedhyane kabel kelakon". Artinya: "Di situlah baru selesai jaman kalabendhu, Ganti dengan zaman kalasuba, Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, Tidak kekurangan sandan dan makan, Seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai"
Selesailah Zaman Kalabendhu menjadi Zaman Kalasuba. Pada waktu itu rakyat dapat tertawa, tidak kekurangan makan dan pakaian, dapat terlaksana apa yang diinginkan. Zaman ini merupakan awal dimana kebahagiaan akan tumbuh karena kesejahteraan manusia telah datang dari Tuhan. Pada zaman ini, hukum ditegakkan dan para pemimpinnya bersikap tegas dan bijaksana. Hal ini membuat negara secara setahap demi setahap mengalami kebangkitan dari tidur panjangnya.