Namun, tidak lama setelah kejadian tersebut Ki Tanujaya dan Bagus Burham kembali ke Pondok Gebang Tinatar, yang dimana Bagus Burham melakukan masa perguruann kembali. Tetapi, kenakalan beliau tidak berubah dan hal ini membuat Kyai Imam Besari memarahi beliau habis-habisan. Akibat kemarahan Kyai Imam Besari tersebut membuat beliau sadar dan mulai insaf atau binuka akan hakikat hidup dan kehidupan.
Sejak saat itu, beliau rajin belajar dan setya suhu terhadap sang guru, Kyai Imam Besari. Selain itu, beliau juga berusaha untuk berbekal diri terhadap tindakan yang ada hubungannya dengan keutamaan. Beliau sering melakukan pantangan, bertapa, bersemedi, atau bertirakat dengan cara lain.
Akibat perubahan tingkah laku dan kepandaiannya, Beliau diangkat menjadi anggota pengurus siswa yang bertugas membantu Kyai Imam Besari dalam hal pelajaran. Â Setelah dipandang cukup menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain, beliau pulang ke Surakarta. Saat di Surakarta, beliau diasuh langsung oleh kakeknya, R.T. Sastranegara. Beliau dididik dalam berbagai ilmu dan pengetahuan.
Sesudah dikhitan, kira-kira berusia 13 tahun atau sekitar tahun 1743 Jawa atau 1815 Masehi, beliau diabdikan oleh kakeknya, R.T. Satranegara, kepada Gusti Pangeran Buminata untuk berguru dalam bidang ilmu jaya kawijayan, kadigdayan, dan kanuragan. Mengingat usia dan tingkatan ilmu, beliau kemudian diabdikan kepada Sunan Paku Buwana IV sebagai magangan abdi dalem.
Kehidupan Bagus Burham sebagai Abdi Dalem Carik Kepatihan dimulai sejak hari Senin Pahing, 8 Sura, Alip 1747 (Amuji Suci Pandhitaning Ratu), atau tanggal 28 Oktober 1819 dengan nama Rangga Pujangga Nom. Sebutan itu sering dinyatakan dengan nama Rangga Pujangganom. Jabatan Rangga merupakan jabatan di atas Demang atau Jajar. Dalam struktur birokrasi Kasunanan Surakarta, jabatan itu termasuk jabatan yang rendah.
Pada tahun 1749 Jawa, dia diangkat menjadi Mantri Carik Kadipaten Anom dengan Mas Ngabehi Surakarta (Trusdadi Pandhitaning). Sejak menjabat Abdi Dalem Carik di Kadipaten Anom, gelar kebangsawaan Pujangga Ranggawarsita dinaikkan satu tingkat dari sebutan Mas menjadi Raden.
Nama Ranggawarsita adalah nunggak semi, seperti nama yang digunakan oleh kakek dan ayahnya, Di samping itu, kata wasita atau warsita berarti 'ucapan', petuah atau pembicaraan dalam arti 'kapujanggan'. Sejak saat itulah beliau dipandang sebagai seorang ahli dalam hal kesusastraan Jawa, dan sekaligus sebagai guru, baik dalam hal ilmu sastra ataupun hal kanuragan dan mistik.
Raden Ngabehi Ranggawarsita meninggal dunia pada tanggal 5 Dulkaidah 1802, pukul 12.00 siang tahun Jimakir, Windu Sancaya. Akhir-akhir kematian R. Ng. Ranggawarsita sering dihebohkan karena kematiannya bukan atas kehendak Tuhan Yang Mahakasih, melainkan karena dibunuh oleh Sunan Paku Buwana IX atas persetujuan pemerintah colonial Belanda.
Dalam hal ini, muncul dua pendapat mengenai sebab kematian R. Ng. Ranggawarsita. Pertama, Ranggawarsita meninggal karena kehendak Allah. Kedua, kematian Ranggawarsita karena dibunuh. Pendapat kedua didasarkan atas beberapa pertimbangan: 1) Adanya konflik antara Sunan Paku Buwana IX dengan Sang Pujangga; 2) Sang Pujangga dikhawatirkan akan menghasut rakyat untuk melawan belanda dan menumbangkan takhta kerajaan Sinuhun Paku Buwana IX; 3) Menuntut bela atas perjuangan R. Ng. Ranggawarsita II dan kematian ayahnya itu pada zaman Paku Buwana VI.
Â
Fenomena Korupsi di Indonesia