Mohon tunggu...
Ade Indriawan
Ade Indriawan Mohon Tunggu... -

Simpel

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

RSBI, Ya atau Tidak?

14 Juni 2012   13:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:59 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Di dalam UUD 1945 yang diamandemen, dinyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), "setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal ini ditekankan lagi  di Ayat (4), "negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".

Untaian bunyi undang-undang di atas menyebutkan secara gamblang tentang peran pemerintah terhadap pendidikan rakyat Indonesia. Secara nalar sudah terang, bahwa setiap individu yang berusia di antara rentang usia sekolah, terjamin secara hukum untuk mendapatkan pendidikan dengan layak. Akan tetapi dalam prakteknya jauh dari harapan yang telah digariskan di atas.

Pendidikan di Indonesia kini diibaratkan seperti industri yang tengah berekspansi dengan agresif dan mencari profit sebesar-besarnya. Menjamurnya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) menegaskan hal ini. Seperti efek domino, pembangunan satu RSBI di suatu daerah selalu memicu pembangunan RSBI di daerah lain. Pelaku pendidikan seolah telah latah dalam menerjemahkan program pemerintah ini.

Padahal, maksud dari kebijakan ini menurut pemerintah tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam konsep RSBI ini, pemerintah juga meyakinkan rakyat bahwa kesempatan belajar untuk masyarakat yang mampu maupun masyarakat yang tidak mampu sama besarnya. Tidak ada diskriminasi antara si kaya dan si miskin, semua itu demi pemerataan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia seluruhnya.

Rupanya pemerintah berpikir, pendidikan memegang peranan kunci dalam kemajuan suatu bangsa. Dengan mencontoh kepada negara-negara maju yang sukses menyejahterakan rakyatnya lewat pendidikan, pemerintah mulai merancang suatu skema pendidikan yang berorientasi pada internasionalisasi sistem pendidikan itu sendiri. Dari sini timbullah wacana RSBI.

Sebut saja Korea Selatan, sebuah negara yang sudah menikmati manisnya hasil kerja keras mereka untuk memajukan pendidikannya. Yang-Ro Yoon, seorang peneliti ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A Comparison of Korean and East African Education Policies (2003), mengemukakan sejumlah temuan menarik berdasarkan observasi di tiga negara, yaitu Korea Selatan, Kenya, Zimbabwe. Pada dekade 1960-an GNP per kapita Korea hanya 87 dollar AS, sementara Kenya 90 dollar AS. Memasuki dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat menjadi 270 dollar AS, namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar AS.

Memasuki dekade 1980-an, pembangunan ekonomi di Korea berlangsung amat intensif dan pesat. Bahkan antara periode 1980 dan 1996 dapat dikatakan sebagai masa keemasan saat negeri gingseng itu mampu melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Pada tahun-tahun itu pertumbuhan ekonomi Korea melesat jauh meninggalkan Kenya dan Zimbabwe.

Pada tahun 1996 GNP per kapita Korea telah mencapai 10,600 dollar AS (meski lalu menurun menjadi 7.980 dollar AS tahun 1998 saat terjadi krisis moneter). Sedangkan GNP per kapita Kenya dan Zimbabwe masing-masing 320 dollar AS dan 610 dollar AS.

Korea hanya merupakan salah satu dari sekian banyak contoh negara maju yang mencapai kejayaan ekonominya karena pendidikan. Hasil itu tidak lepas dari intervensi pemerintahnya yang sangat menghargai pendidikan untuk rakyatnya. Dalam hal ini, pemerintahnya secara tegas menempatkan dirinya sebagai penanggungjawab keberlangsungan pendidikan di negara tersebut. Tapi lain halnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Bandingkan dengan Indonesia, coba simak untaian salah satu pasal dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas): "masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan" (Pasal 9 UU Sisdiknas). Arti dari pasal ini amat jelas bahwa pemerintah telah melempar tanggung jawabnya sebagai yang berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan sebaik-baiknya kepada masyarakatnya sendiri.

Sungguh ironis, apalagi diperparah dengan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang kurang lebih maksudnya adalah memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Anehnya, hal ini sungguh kontradiktif dengan maksud dari Pasal 1 Bab 1 Ayat (18), tentang ketentuan umum (dalam UU yang sama) yang berbunyi: "Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah". Lebih dalam lagi, simak kembali Pasal 31 Ayat(2) UUD yang telah diamendemen pada pembukaan tulisan ini.

Rupanya atas dalil inilah—Pasal (9) dan Pasal (12) UU Sisdiknas—pemerintah menjustifikasi keberadaan RSBI yang sangat kental dengan kepentingan golongan, bukan kepentingan rakyat. Nyatanya, dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) pada Februari lalu (28/2/2012), pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap pada prinsipnya untuk mempertahankan RSBI. Hanya saja, pemerintah kini berkonsentrasi untuk membenahi manajemennya yang dinilai masih terkesan tidak siap.

Masalah utama dalam RSBI tentu saja adalah soal biayanya yang begitu selangit. Dengan uang masuk yang dibanderol sampai puluhan juta  dan biaya bulanannya mencapai sejuta per bulan membuat sekolah ini terkesan sangat eksklusif. Memang untuk mengakali tingginya kritik atas besarnya biaya yang dibebankan, pemerintah membuat kebijakan dengan mewajibkan RSBI untuk menyediakan kuota 20 persen untuk masyarakat miskin. Di sini timbul masalah baru, apakah dengan memberi kuota lantas masalah gap sosial bisa diselesaikan? Alih-alih menghindari terjadinya kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin dengan kebijakan tersebut, pemerintah justru membuat sekat untuk siswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu sehingga menjadi minoritas di sekolahnya sendiri.

Masalah RSBI bukan hanya berkutat pada soal biaya. Belakangan, kualitas pendidikan dan pengajaran RSBI juga mulai diragukan. Ini tidak lain karena Panitia Lokal (Panlok) Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) untuk wilayah Jakarta tidak lagi melihat sekolah-sekolah menengah (SMA) atas dengan label standar internasional sebagai prioritas untuk mendapatkan jalur undangan pada SNMPTN tahun 2012 ini.

Sebagai gantinya, mereka hanya melihat kepada akreditasi masing-masing sekolah yang mendapatkan undangan. Kuota terbesar, atau 50 persen, untuk sekolah dengan akreditasi A, sementara 30, 15, dan 5 persen kuota berturut-turut diberikan kepada sekolah dengan akreditasi B, C, dan sekolah yang belum terakreditasi.

Untuk penyetaraan, RSBI digolongkan sebagai sekolah yang berakreditasi A. Jika seperti ini, maka untuk apa memilih sekolah yang mahal kalau ada pilihan sekolah negeri non-RSBI yang lebih murah dengan akreditasi yang sama? Bukankah tujuan untuk memilih SMA yang berkualitas adalah sebagai jaminan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi?

Adanya penyetaraan seperti itu membuat RSBI dan sekolah reguler dengan akreditasi A pada umumnya seperti hal yang serupa tapi tak sama. Padahal, baik itu RSBI atau bukan, setiap sekolah pasti mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi delapan aspek yang menjadi Standar Nasional Pendidikan. Delapan aspek tersebut antara lain menyangkut standar isi, tenaga pendidik, evaluasi, sarana dan prasarana, proses belajar dan mengajar, tata kelola, kompetensi lulusan, dan pembiayaan.

Meributkan masalah RSBI memang tidak bisa lepas dari ‘label internasional’-nya yang kental dengan aroma komersialisasi. Padahal, kalau hanya ingin memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia harus dimulai dari aspek yang mendasar seperti perancangan kurikulum yang tepat atau penerapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang lebih merata. Jika itu sudah terlaksana, maka pewacanaan RSBI baru bisa dikaji.

Tidak salah lagi kalau kemajuan yang dialami Korea Selatan merupakan andil dari pendidikan yang fondasinya sudah mereka bangun berpuluh-puluh tahun yang silam. Berbagai studi menunjukkan, basis pendidikan di Korea memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah ekspansif antara 1960-an dan 1990-an guna memperluas akses pendidikan bagi segenap warga negara.

Program wajib belajar pendidikan dasar (universal basic education) sudah dilaksanakan sejak lama dan berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar jenjang SLTP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi.

Namun, karena pemerintah Indonesia terlalu terburu-buru atau memang karena lebih menyukai solusi yang instan, maka jadinya RSBI kini lebih ditafsirkan bukan sebagai rintisan sekolah bertaraf internasional, tetapi rintisan sekolah bertarif internasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun