Mohon tunggu...
Ade Indriawan
Ade Indriawan Mohon Tunggu... -

Simpel

Selanjutnya

Tutup

Money

Lebih Akrab dengan Produk Transgenik

13 Juni 2012   12:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy



Seekor laba-laba objek penelitian telah kabur dari sarangnya. Sejurus kemudian, laba-laba tersebut menggigit tangan dari seorang mahasiswa kurus yang kebetulan sedang berkunjung ke laboratorium tempat penelitian dilakukan. Di rumahnya, pemuda berkacamata tebal tersebut mengalami pusing yang luar bisaa hingga membuatnya pingsan. Sebuah pemandangan tersaji. Diperlihatkan bahwa DNA laba-laba tersebut, yang masuk ketika menggigit tangan si pemuda, menembus sel-sel tubuh, lalu merekonstruksi dan akhirnya menyatu bersama DNA asli pemuda tersebut.

Ketika tersadar, pemuda tersebut mengalami keanehan-keanehan. Dia mendapati dirinya sendiri sebagai seorang yang berotot kekar yang dilihatnya melalui cermin kamarnya. Kacamata tebalnya pun menjadi tidak berguna karena secara tiba-tiba kedua matanya kembali normal seakan-akan dia tidak pernah mengalami kelainan mata sebelumnya. Bukan sampai di situ saja, yang lebih aneh lagi justru dia bisa berkelakuan seperti layaknya seekor laba-laba. Dari ujung jari-jari tangan dan kakinya telah tumbuh bulu-bulu halus yang memungkinkan dia bisa memanjat dinding datar tanpa kesulitan. Bahkan, dari pergelangan tangannnya dia bisa mengeluarkan semacam benang lengket seperti jaring laba-laba sungguhan.

Sekelumit cerita di atas merupakan adegan awal dari sebuah film superhero yang fenomenal, Spiderman. Film yang didasari sepenuhnya dari imajinasi tersebut tidaklah selalu menggunakan khayalan sebagai pendukung ceritanya. Mirip-mirip fiksi ilmiah, film tersebut juga mengunakan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian dikembangkan menurut imajinasi sang penulis cerita.

Salah satu landasan tersebut adalah tentang rekayasa genetika. Sesuatu yang digambarkan oleh tokoh Peter Parker, yang mempunyai sifat seperti laba-laba karena setelah dirinya tergigit laba-laba, sebagian dari DNA laba-laba menyatu dalam dirinya. Rekayasa genetika merupakan salah satu topik ilmiah yang paling hangat dibicarakan di abad ke-21 ini. Rekayasa genetika adalah seperangkat teknologi (bioteknologi) yang memungkinkan terjadinya perpindahan genetik antar makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan, dan bakteri. Teknologi ini memungkinkan kita untuk menghasilkan tanaman atau hewan yang memiliki sifat-sifat tertentu sehingga mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi manusia.

Sejarahnya, rekayasa genetika ini pertama kali diperkenalkan oleh dua ilmuwan Amerika Serikat, yaitu Stanley Cohen dan Herbert Boyer. Lalu Sembilan tahun kemudian, tanamn hasil rekayasa genetika pertama kali diproduksi dalam skala laboratorium. Perlu waktu setidaknya empat tahun, untuk kemudian tanaman hasil rekayasa genetika diujicobakan di alam yang yang sebenarnya pada tahun 1986. Percobaan tersebut mendulang sukses sehingga USDA’s Animal & Health Inspection Service melakukan percobaan penanaman lebih dari 70 spesies tanaman hasil rekayasa genetika di tahun berikutnya.

Industri keju di Amerika Serikat mendapatkan angin segar ketika enzim chymosin yang berasal dari rekayasa genetika disetujui pengguaannya oleh Food and Drugs Administrasion (FDA) untuk pembuatan keju di tahun 1990. Di tahun 1994, perusahaan Calgene mengkomersilkan sayuran tomat yang memiliki umur simpan yang lebih lama. Ketika produk hasil rekayasa genetika—atau bisaa disebut dengan produk transgenik—mulai menyebar luas, enam negara Eropa memperketat aturan yang berhubungan dengan rekayasa genetika di tahun 1998. Kemudian, pada 2001, IRRI memperkenalkan Golden Rice, beras yang mengandung beta carotene dan precursor vitamin A (Golden Rice, atau beras emas pernah diulas pada majalah ini di edisi Oktober lalu).

Secara tidak sadar, sudah banyak produk transgenik yang menghiasi kehidupan kita sehari-hari. Sebut saja obat-obatan, vaksin, makanan dan bahan makanan, pakan ternak, juga serat. Akan tetapi, perkembangan rekayasa genetika bukannya tanpa hambatan. Sejak perkenalannya dalam kancah ilmu pengetahuan, dan komersialisasi produknya kepada masyarakat, teknologi ini kerap kali menuai kontroversi. Berbagai macam pro dan kontra tentang produk transgenik memang seakan tidak ada habisnya. Mereka yang pro berpendapat bahwa melalui rekayasa genetika di bidang pangan, kualitas hidup manusia akan meningkat. Rekayasa genetika, tambah mereka, semakin dibutuhkan oleh manusia seiring bertambahnya populasi penduduk Bumi.

Namun, mereka yang menentang produk-produk transgenik berpendapat bahwa mengonsumsi pangan hasil rekayasa genetika dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia. Misalnya saja, munculnya penyakit-penyakit baru yang belum pernah ada sebelumnya. Selain itu, menurut mereka, teknik transfer gen dalam proses rekayasa genetika adalah tidak etis dan bisa menimbulkan efek yang tidak terduga. Mereka juga menambahkan bahwa dalam jangka panjang ke depan, rekayasa genetika dikhawatirkan dapat merusak lingkungan.

Dr. Jill McCluskey, peneliti dari International Marketing Programs for Agricultural Commodities and Trade (IMPACT), pernah menyimpulkan  bahwa hasil penerimaan konsumen berbeda-beda di tiap negara. Penelitian tersebut mengetengahkan preferensi dan kesediaan konsumen untuk membeli pangan produk transgenik di Cina, Norwegia, Jepang, Cili, Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada. Menurutnya, penerimaan konsumen terhadap pangan dari produk transgenik ditentukan oleh budaya setempat. Daerah-daerah yang memilili penghargaan yang tinggi terhadap tradisi—seperti Cili, Meksiko, dan Norwegia—jarang ada yang meminati produk transgenik. Sebaliknya, daerah-daerah yang sangat menghargai teknologi mutakhir—seperti Amerika Serikat dan Cina—cenderung merespon produk-produk transgenik dengan positif.

Pada perkembangannya, mereka yang pro terhadap produk-produk transgenik memang lebih berada di atas angin. Hal ini tidak lain karena pernyataan WHO dan FAO pada tahun 2000 yang menyimpulkan bahwa masalah yang mungkin timbul akibat konsumsi produk-produk transgenik masih sedikit diketahui. Di Indonesia, BPOM juga menyatakan belum menemukan dampak negatif pada kesehatan manusia akibat mengonsumsi produk transgenik. Pangan hasil rekayasa genetika pun telah dilindungi oleh hukum dengan dinyatakan aman dan boleh beredar melalui Undang-undang Nomor 7 tentang Pangan Tahun 1996.

Tapi, adakalanya masyarakat masih terkesan sangat skeptis dengan keamanan produk transgenik bagi kesehatan. Oleh karena itu, dibuatlah “jalan tengah” dengan memberikan label khusus yang menunjukkan bahwa suatu produk hasil dari rekaysa genetika sehingga konsumen diberi keleluasaan lebih dalam memilih. Walaupun memang tidak ada hubungannya antara pelabelan dengan makanan yang dikemas, karena tujuan dari pelabelan hanya mengisyaratkan informasi tentang keberadaan bahan hasil rekayasa genetika supaya konsumen bisa menggunakannya sebagai pertimbangan untuk memilih. Kebijakan pelabelan ini sendiri sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 69/1999 pasal 35 dan Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Label Produk Transgenik.

Sebenarnya, keyakinan dari diri kita sendiri-lah yang merupakan faktor utama untuk memantapkan diri dalam memilih produk transgenik. Sugesti diri sangat berperan besar di sini. Segala sesuatu pun jika diperlakukan secara tidak proporsional atau berlebihan, maka akan berdampak buruk. Seperti misalnya ketika kita mengonsumsi gula, walaupun berasal dari produksi yang alami, tapi jika kita berlebihan, maka tidak ada yang menjamin bahwa kita akan selamat dari bahaya diabetes. Akan tetapi, ketika jika kita mengomsumsi pangan hasil transgenik, tempe misalnya, dengan secara rutin pun kita tidak akan menimbulkan efek samping yang berarti.

Mungkin Anda bertanya-tanya apakah mungkin ada tempe yang merupakan produk transgenik? Saya akan menyodorkan Anda sebuah fakta menarik. Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengimpor kedelai untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri, khususnya industri tempe dan tahu. Lazim kita ketahui bahwa untuk memproduksi pangan yang satu ini, produksi kedelai dalam negeri tidak memenuhi syarat karena mutunya yang kurang bagus. Oleh karena itu, pemerintah mengambil jalan impor kedelai dari luar negeri.

Nah, negara pengekspor kedelai terbesar untuk Indonesia adalah Amerika Serikat, di mana proporsi impor Indonesia dari sana bisa mencapai 75% dari total impor kedelai atau kira-kira sebanyak 1,2 juta ton (data tahun 2007). Malah pernah beberapa tahun seluruh kedelai impor Indonesia berasal dari negara Paman Sam tersebut. Perlu diketahui bahwa 90% dari seluruh hasil pertanian kedelai di AS menggunakan tanaman hasil rekayasa genetika yang berarti hasil kedelainya merupakan produk transgenik. Dengan hitung-hitungan kasar, berarti sekitar 70-90% dari tempe atau tahu yang pernah kita makan merupakan hasil dari produk transgenik. Dengan kata lain, sebenarnya kita telah terbiasa mengonsumsi pangan transgenik tanpa kita ketahui dan selama ini belum pernah ada keluhan dari akibat mengonsumsi kedua makanan tersebut. Jadi, jika Anda masih bertanya-tanya tentang keamanan produk-produk transgenik bagi kesehatan, silakan cek sendiri dengan mengonsumsi kedua pangan tersebut. Saya sendiri merupakan penggemar tempe dan tahu. Anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun