Mohon tunggu...
Indriati See
Indriati See Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

WNI bermukim di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(Fikber 2) Kebahagiaan Terakhir

3 Desember 2015   15:46 Diperbarui: 3 Desember 2015   16:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Indriati See - Peserta No.8 - Ending

 

Kuasa gelap telah menguasai raga Sukma yang semakin melemah. Tak seorang pun sanggup menolongnya kecuali jika dia menjalankan apa yang diminta oleh Sang Surya melalui suara wanita yang lembut itu. Suara yang memintanya untuk hadir ketika jam dinding menunjukkan pukul 15:00 dan 18:00.

„Kau mengerti apa maksud dari kedua waktu tersebut, nak ?“.

„Tidak !“.

„Di kedua waktu tersebut, kau tidak sendiri karena semua doa yang dipanjatkan oleh orang-orang saleh akan didengar olehNya, lalu membentuk kekuatan yang luar biasa untuk melawan kuasa gelap selama ragamu masih berada di bumi yang fana ini“.

„Aggghhh!“; Sukma berteriak dengan suara yang mengerikan.

Kuku-kukunya memanjang, keluar taring dari giginya, kulitnya pun bersisik bagai seekor ular.

„Aku tidak akan melepaskan raga ini, enyahlah!“.

„SinarMu menyilaukan mataku, terasa panas bagai api neraka!“.

„Kembalikan raga itu kepada Sukma !“.

„Tidak! … tidak! … karena tanpanya aku tidak bisa berkomunikasi denganMu !“.

„Kau! … Kau! Tak pernah mau mendengar jeritanku dari dasar neraka itu !“.

„Keluar kau dari raga anakKu, hai ular beludak!, sekarang juga!“.

„Kau sudah memiliki ketiga jiwa (sukma) dari keluarga anak itu!, keluar sekarang juga!“.

„Aggghhh!“; terdengar lengkingan suara yang memilukan.

**

Di kejauhan terdengar lantunan suara azan, dentangan lonceng gereja dan kuil. Derasnya doa-doa dari mereka, membentuk kekuatan yang luar biasa. Memantul balik ke arah alam semesta dan seisinya. Memberi kedamaian pada mereka yang masih bisa merasakanNya.

Terasa darah hangat mengalir kembali dalam ragaku.

„Aku haus dan lapar“.

Kurasa hangatnya pelukan ayah sambil terseguk-seguk di telingaku.

„Suster segera datang membawa makananmu, nak“.

"Ayah dan Ibu bahagia melihat kondisimu yang semakin membaik".

„Perlu saya tutup hordeng jendelanya Pak?“; tanya Suster yang membawa makanan.

„Tidak usah Zus“; jawab Sukma lirih.

Suster hanya mengangguk dan tersenyum sambil meninggalkan kamar.

 

Sukma memandang ke arah jendela sambil tersenyum. Senyum yang tak seorang pun bisa mengartikannya.

 

***

 

Pesan moral: "Dalam kehidupan di dunia yang fana ini, banyak sekali sukma-sukma yang lemah; bisa jadi dari saya, kamu atau dia. Hanya dengan melalui doa kepadaNya maka sukma kita akan kuat dan tidak sendiri".

HiR, 03.12.2015

 

 

Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community

 

Sumber Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun