Mohon tunggu...
Indriati See
Indriati See Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

WNI bermukim di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Perjalanan ke Aachen - Mudik à la Orang Jerman

27 Agustus 2011   21:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liburan musim panas belum berakhir, masih ada Propinsi (Länder) yang diliputi suasana libur karena liburan musim panas di Jerman tidak dilakukan secara serentak guna menghindari sibuknya arus lalu-lintas di jalan bebas hambatan, jasa KA, laut dan udara.

Tidak semua keluarga di Jerman mempunyai kendaraan pribadi, terutama bagi keluarga kecil yang tinggal di kota besar dimana transport publik sangat memadai dan selalu beroperasi hampir 24 jam per hari, maka mereka tidak harus mempunyai kendaraan pribadi. Lain halnya dengan kami yang tinggal di kota kecil dengan situasi dan kondisi transport publik yang berkebalikan dari kota besar.

Seperti keadaan di Tanah Air, begitu juga di Jerman dimana mereka yang masih aktif bekerja harus berpindah daerah, mengikuti pekerjaan yang mereka dapat, oleh karena itu istilah „mudik“ hanya 3 hari atau satu akhir pekan sering dilakukan.

Akhir pekan kali ini, kami harus mudik karena undangan ulang tahun dari teman „Bermain Pasir“ atau dalam Bahasa Jermannya „Sandkastenfreund“ atau mungkin tepatnya dalam Bahasa Indonesia disebut „Teman bermain Layang-layang“ suami saya. Mudik bagi suami dan saya berarti kembali ke Aachen, kota dimana suami saya besar, studi dan bekerja untuk pertama kalinya.

Aachen terletak kira-kira 270 Km dari tempat tinggal kami, dan merupakan kota terbarat dari wilayah Jerman, dekat daerah perbatasan dengan Belanda dan Belgia. Karena posisi Aachen tersebut maka tidak mengherankan jika banyak penduduk Aachen yang bisa berbahasa Belanda atau Perancis.

Aachen masuk dalam wilayah/propinsi (Länder) Nordrhein-Westfalen dengan Ibu Kota Köln.

Bagi kita WNI, kota Aachen tidak asing lagi karena Ex Presiden RI, Bapak B.J Habibie adalah almamater dari RWTH (Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule) Aachen (Universitas Tehnik Aachen).

Diperkirakan ada sekitar 2500 Pelajar Indonesia yang belajar di RWTH, yang terkenal sebagai Universitas Tehnik terbesar dan salah satu dari Universitas tertua di Eropa dengan reputasi yang sangat baik, disamping terkenal, biaya kuliah di RWTH juga tidak mahal.

Sebagai kota pelajar yang berpenduduk 258.664 jiwa (per 31 Des.2010), selain terkenal dengan RWTH-nya, Aachen juga dikenal sebagai kota Penyelenggara Balap Kuda Internasional CHIO (Concours Hippique International Officiel) yang diselenggarakan setiap tahun guna memperebutkan Piala Karlspreis.

[caption id="" align="aligncenter" width="350" caption="CHIO Aachen"][/caption]

Dari sisi sejarah, Aachen merupakan kota tua yang sudah ada sejak zaman Neolithikum (3000 – 2500 SM). Dom Aachen (Gereja Kathedral), yang juga merupakan Pusat Keuskupan didirikan pada abad ke-8 oleh Karl der Große, dengan bentuk Oktogon dan mendapat pengakuan dari UNESCO pada tahun 1978 sebagai Monumen pertama Jerman dan kedua Dunia dari urutan Peninggalan Budaya Dunia.

[caption id="" align="aligncenter" width="467" caption="Gereja Kathedral Aachen"]

Gereja Kathedral Aachen
Gereja Kathedral Aachen
[/caption]

Bagi Pelancong yang suka kulinaris, Aachen terkenal dengan Kue Printenya (kue yang terbuat dari coklat, madu dan aroma rempah-rempah). Disamping itu kita bisa mengunjungi Pabrik Coklat/Gula-gula Lambertz dan Lindt yang sangat terkenal dengan harga yang cukup miring.

[caption id="" align="aligncenter" width="254" caption="Kue Printen"][/caption]

Untuk mudik kali ini, terpaksa saya yang mengemudi, karena gangguan kesehatan suami saya harus duduk dengan tenang sebagai Co-Pilot. Biasanya, untuk jarak lebih dari 100 Km, saya tidak diizinkan mengemudi dengan alasan „kecepatan dan keselamatan“, karena suami saya suka mengebut, jadi kalau saya yang menyupir, „terlalu lama !“ katanya.

Tak disangka, jarak 270 Km saya tempuh dengan waktu 2,5 jam dengan kecepatan 130-160 Km/jam (batas max. kec. 130 Km/jam untuk jalan toll) … „Wuihhhh !“ seru suami saya. „Cobalah 200 Km/jam !“ tantang suami saya … „Sebelum SIM saya hilang kena tilang, lebih baik tidak !“ jawab saya dengan tenang … he he.

Mudik yang sangat singkat, tetapi puas karena bertemu dengan teman-teman lama dan keluarga besar dari suami, dan bagi saya pribadi, menemui Ibu Mertua juga berarti sedikit mengurangi rasa kangen terhadap orang tua dan keluarga besar saya di Tanah Air.

Sekian ole-ole perjalanan mudik kami, semoga informasi diatas berguna bagi anda, para Pembaca yang budiman.

Salam Kompasiana

Aachen, 28 Agustus 2011

Image: 1, 2, 3, 4

Info tambahan dari wiki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun