Tukang bubur ayam itu masih muda, usinya sekitar 20-an tahun, kumis tipis di atas bibirnya menambah tampan wajahnya, tapi bukan wajah itu yang membuat Aminah merasa aneh dengan kehadirannya. Setiap pagi tukang bubur itu memang teman setia dalam menemani sarapannya, bukan karena ia tak bisa memasak atau orangtuanya tidak menyediakan sarapan untuknya, tapi karena alasan waktulah ia melakukan semuanya itu. Aminah memang memikul tanggung jawab sebagai kepala sekolah SD Negeri di sebuah kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari desanya, untuk itu ia harus berangkat pagi, tukang bubur ayam itulah yang menjadi langganan setiap pagi. Anehnya, tukang bubur ayam itu tidak mau menerima bayaran darinya, padahal sudah satu minggu ini atau 7 kali ia menyantap bubur ayamnya. Setiap kali Aminah berusaha membayarnya, ia selalu menolak dengan tersenyum, “Nggak usah mbak!” begitu selalu jawabnya. Ketika uang diletakkan ke gerobaknya dengan cepat ia mengembalikan, bahkan kalau Aminah menolak, si tukang bubur itu menaruh uang di teras rumah Aminah. Kalau dihitung-hitung 7 mangkok bubur x Rp. 5000,- = Rp. 35.000,- Bukankah itu jumlah uang yang cukup berarti baginya. Berapa sih untungnya dari bubur ayam itu? Kenapa ia tidak mau menerima bayarannya? Apakah ia mencintai Aminah? Ah, Aminah tak berpikir hingga sejauh itu. Bukankah sudah ada Jarwono, teman kuliahnya di FKIP yang kini menjadi pengajar yang sama di sekolahnya, yang diam-diam Aminah menaruh hati juga. Tiba-tiba ia jadi ingat, tukang bubur ayam itu dulu pernah dikontrak untuk mengisi salah satu menu dalam acara di sekolahannya. ***
Pendidikan di negeri ini ibaratnya seperti “anak tiri yang kesepian”, tapi dengan bergulirnya waktu, dengan berlakunya “sertifikasi” untuk para guru, dengan adanya “tunjangan fungsional”, walau sering telat pihak PEMDA dalam membayarnya dan sering di rapel sesukanya, kesejahteraan para guru sudah mulai membaik. Untuk itulah dua sekawan waktu kuliah dulu, Aminah dan Jarwono yang kebetulan bisa mengajar di Sekolah Dasar Negeri 1 Kecamatan Kedungsengon, mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di dekat tempat kelahirannya. Dengan bergulirnya waktu, prestasi Aminah menanjak, ia berhasil menjadi kepala sekolah SDN itu, dan Jarwono menjadi wakilnya. Namun seiring dengan itu ada hal yang memprihatinkan dengan kondisi sekolahannya, banyak gedung kelasnya yang sudah tidak layak sebagai sarana untuk belajar mengajar, banyak plafonnya yang rusak, ubinnya sudah pada retak, temboknya sudah tak terlihat lagi warna catnya, belum gentingnya di banyak tempat sudah pecah. Untuk itu dengan susah payah dan kesabaran tinggi, ia mengajukan usul pembangunan gedung sekolahan tersebut, atau paling tidak direnovasi sesuai dana yang ada juga tidak apa-apa. Akhirnya, penantian itu pun berbuah juga. Namun sebelum bantuan itu diterima, dari pihak DIKNAS akan datang ingin meninjau kelayakannya terlebih dahulu. Aminah tidak ingin sekolahannya tampak kumuh dan memprihatinkan, ia bersama semua guru dan murid-muridnya melakukan kerja bakti agar sekolahannya tampak bersih walau dinding-dindingnya tampak kusam, tapi tetap terlihat asri. Tidak itu saja, Aminah memerintahkan murid-muridnya yang berlatih kesenian Angklung menyambut kedatangan mereka, juga murid-murid yang terampil dalam bidang kesenian lainnya. ***
Senin pagi yang cerah, Aminah sedikit gugup dan cukup sibuk mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan para tamu pejabat dari DIKNAS itu. Sebagai kepala sekolah, Aminah dikenal juga sebagai gadis desa yang ayu dan sangat bijaksana, oleh karena itu banyak disukai para murid maupun rekan-rekan guru yang lain. Maka tidak membutuhkan waktu lama bagi Aminah untuk mengajukan proses permohonan bantuan untuk sekolahnya itu, apalagi ada seorang pria bernama Andi di instansi tersebut yang begitu antusias membantunya. Saat-saat yang ditunggupun tiba, sedikit gugup Aminah menyambut para tamu kehormatan dengan kata sambutan, namun setelah itu sambutannya menjadi renyah dengan humor-humor yang diselipkan pada pidatonya itu. Setelah diajak berkeliling dari ruang kelas ke ruang kelas yang lain, untuk memperlihatkan kondisinya, para tamu itu dipersilahkan duduk di lapangan belakang sekolah, yang sudah diberi terpal untuk tempat berteduh, dan ada panggung kecil untuk acara penyambutan serta memperlihatkan kemampuan siswa-siswi sekolahan tersebut. Andi yang sudah banyak membantunya juga tampak duduk pada kursi depan khusus untuk tamu kehormatan yang diundang. Aminah sudah diberitahu oleh koleganya yang lain bahwa Andi menjabat sebagai Penanggung Jawab Keuangan dari salah satu Lembaga Pemerintah itu. Secara diam-diam, Andi tertarik akan kecantikan Aminah, dan berniat untuk memenuhi permohonan Aminah untuk pembangunan sekolahannya. Acara Paduan Suara para murid yang diiringi oleh Ensembel Angklung sangat menarik perhatian para tamu kehormatan maupun tamu undangan yang lain untuk lebih berlama-lama menikmati seluruh rangkaian acaranya. Tak lupa ada hidangan bubur ayam yang hangat dan beberapa hidangan “jajan pasar” dalam di acara tersebut. Angklung dimulai, saat yang paling mendebarkan bagi anak-anak, tangannya sedikit bergetar ketika memegang erat bilah bambu, sedikit canggung namun tetap bersemangat memainkannya. Demikian juga Aminah, ketika tanpa sadar bertatap pandang dengan Andi, bias sipu merah dipipi terlihat samar. Begitu samar, dan segera mengalihkan pandangan kembali ke atas panggung sederhana itu. Walaupun begitu, debaran jantungnya sungguh sulit dikendalikan. Sementara Andi tampak seolah-olah tenang, walapun kelihatan titik-titik keringat di kening. Padahal pagi itu udara cukup sejuk. Tetapi tidak ada satupun yang memperhatikan kegelisahan kedua insan. Semua pandangan hanya tertuju ke panggung pertunjukan. Terbukti juga kata dua ahli riset Jerman Barat, DR.Christiane Doemer dan DR. Karl Grammer yang mengatakan “Cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada.” Fakta dan bisa dibuktikan secara ilmiah. Sebab kedua ahli itu telah merekam “temu pandang” lelaki dan perempuan kurang lebih 300 banyaknya. Hasilnya, dalam 30 detik, malah lebih cepat, kita bisa mengetahui apakah cinta pada pandangan pertama itu menimpa seseorang atau tidak, dengan memperhatikan “bahasa tubuh” mereka. Apakah Aminah dan Andi sudah melewati “temu pandang” itu, sebelum saling kembali berpandangan? Lain lagi dengan Jarwono, ia tampak gelisah melihat pemandangan yang cukup janggal baginya. Melihat Andi yang selalu tak lepas memandang Aminah yang duduk disebelahnya itu, dan mengacuhkan dirinya. Hatinya semakin teriris perih pilu saat Aminah pun sering tersenyum ke arah Andi. Sedetik tatap pandang mereka membuat Jarwono seperti pecundang, yang kehilangan segala kesempatan. Namun ia berusaha menyingkirkan segala prasangka itu, ia masih yakin Aminah tidak akan berpaling darinya. *** Tiba-tiba Aminah tersentak dari lamunan tentang acara di sekolahannya kemarin, ia jadi ingat tukang bubur ayam itu dikenalnya dari acara dengan pejabat DIKNAS, dan ikut menjamu dengan bubur ayamnya itu. Segera ia beranjak membuka-buka sebuah buku, kemudian memencet HP-nya sambil melihat catatan dalam buku itu. Tak lama kemudian. “Hallo, ini tukang bubur ayam ya?” “Oh, ini Mbak Aminah ya?” “Lho kok kamu tahu nomerku?” “Kan dulu Mbak Aminah memberikan nomer HP-nya padaku, dan Mbak Aminah mencatat nomerku?” Aminah tersenyum, entah geli atau salah tingkah, ia menganggap itu sesuatu yang lucu saja. “Ada apa Mbak kok tumben menghubungi saya?” “Kamu beberapa hari ini kok nggak mampir ke rumahku?” “Saya libur Mbak, ada acara keluarga.” “Ah yang benar? Apa karena kamu kehabisan modal jadi nggak jualan?” “Bener Mbak, ada keluarga yang punya hajat jadi saya memang libur jualan kurang lebih satu minggu. Maaf ya Mbak kalau nggak bisa ke rumah Mbak Aminah.” “Saya masih tidak yakin Mas. Kamu pasti tidak punya uang buat jualan lagi, aku mau ke tempatmu buat membayar semua bubur yang telah kumakan selama beberapa hari lalu. Kamu harus mau menerima itu. Aku juga mau tanya, waktu di kontrak di sekolahanku itu siapa yang bayar?” “Mbak Aminah jangan kuatirkan soal bayaran itu semua. Saya sudah dibayar waktu di kontrak di acara sekolahan itu. Bahkan selama satu bulan untuk sarapan mbak Aminah juga sudah dibayar!” “Hah? Siapa yang membayar itu semua?” “Saya tidak boleh mengatakannya Mbak.” “Cepat katakan saja! Jangan kuatir, aku akan menjaga semua rahasia itu!” “Wah nggak Mbak, saya sudah berjanji untuk tidak mengatakannya!” usai mengucapkan itu hubungan terputus.
Sekian
Kolaborasi : 68. Indriati See + Mbahwo + Tante Paku +
+
Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini :Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi. MPK, 11 Juni 2011 Gambar: disini disana disitu Musik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Puisi Selengkapnya