Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Harapan dan Realita Sebelum Hamil

17 Maret 2021   11:47 Diperbarui: 17 Maret 2021   21:28 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup Mulai dari Usia Kapan Saja
Awalnya pepatah mengatakan, "Life begins at 40". Yang mbeling ataupun kreatif, bebas juga mengatakan, "Love begins at 40", inilah era kebebasan berpendapat.

Dalam perkembangannya, setiap orang mengadopsi ungkapan itu dengan penyesuain angka usia tergantung kisah hidup individunya. Maka tidak mengherankan jika aku semakin sering membaca ungkapan "Lyfe begins at 50" dan seterusnya.

Singkatnya, 'dimulainya kehidupan' itu adalah semacam ekspresi atau pemaknaan sebuah momentum, sebagai bagian perjalanan kehidupan seseorang.

Interpretasi saya, "Life" dimaknai sebagai kemunculan perasaan lahir baru, semangat baru, produktivitas kehidupan yang terbarukan, kesadaran baru menghayati rasa syukur dengan segala aktualisasi ataupun perwujudannya.

Dalam konteks siklus kehidupan seseorang, secara umum masih banyak anggapan bahwa seorang individu dianggap lengkap apabila semua tahapan sesuai standar dan norma masyarakat telah terlaksana atau terpenuhi.

Lahir, khitan, akhil baliq, menikah, punya pekerjaan tetap, punya anak, punya cucu pun cicit. Dan semua itu terlebih bila tampak sebagai album kehidupan yang utuh dan indah.

Tentu di era penuh perubahan dan ketidakpastian ini, gambaran hidup sempurna dan utuh menjadi agak mirip utopia. Ada saja lubang 'kekurangan' atau mata rantai yang hilang dari album kehidupan yang diharapkan 'ideal'.

Sangat banyak contoh atau ilustrasi tentang dikotomi antara harapan dan kenyataan hidup ini. Satu dan lain hal yang mungkin terluput dari jangkauan dan penglihatan 'mata' masyarakat atau lingkungan sosial menurutku, soal persepsi.

Harapan dan Realita Pasangan dengan, atau Tanpa Anak
Orang yang tidak menikah bukan karena kewajiban tertentu, misalnya, dianggap hidupnya 'belum lengkap', pun yang sudah memiliki pasangan namun tidak berketurunan -- cenderung dikepoin.

"Mengapa pasangan itu nggak punya anak? Siapa yang bermasalah? Mengapa nggak ikut program bayi tabung? program ini itu yang sudah terbukti sukses membantu pasangan yang mendambakan keturunan?" dan sebagainya.

Lalu secara pribadi  tercetuslah beragam ungkapan hati yang disampaikan secara terbuka, di media sosial, dalam percakapan pribadi, atau komunikasi langsung maupun bisik-bisik.

Beberapa Pengamatan Nyata
"Kami memang pengin punya anak, tapi kebetulan aku dan suami ada kendala fisik masing-masing. Itu hasil cek medis menyeluruh, mbak. Masalahnya kami ingin adanya proses alami. Berdoa dan nggak ikut program."
Itu baru satu ilustrasi.

"Sejak awal menikah, aku dan suami sepakat untuk tidak punya anak. Nggak perlu kujelaskan mengapanya, khan?"
Ilustrasi berdasarkan kisah nyata yang ke-2.

"Awalnya kami berusaha ke mana-mana, namun sepertinya Allah belum memberikan amanah bagi kami momong anak. Kami ikhlas, kami bahagia berdua saling mencinta dan setia. Kuyakin pasti ada plus minusnya hidup berpasangan dengan atau tanpa anak. Kami kompak nggak perlu mendengarkan suara bising dan minor di luar sana."
Ilustrasi ke-3 demikian, dan berdasarkan kisah nyata.

"Mungkin ini takdir yang lucu. Mamaku itu bidan, menolong dan membantu kelahiran puluhan bayi orang. Aku yang adalah anak sulungnya, harus cukup bahagia mengadopsi resmi seorang anak sejak dia masih bayi merah. Aku dan suami menyayangi anak itu seperti bayi kandung sendiri. Alhamdullilah  dia tumbuh sehat, cantik  cerdas, membanggakan."
Ini contoh ke-4, pengalaman teman sekantorku.

"Bu, itu tetangga dekat kenapa ya nggak punya anak? Mereka masih usia produktif. Kasihan aja kalau sebenarnya pengin punya anak, tapi harus ada usaha selain yang alami. Tahu kan Bu, Si Kecil dulu lahirnya mahal karena kami ikut program?"
Ilustrasi ke-5, percakapan yang tentu cukup kuhentikan buat diri sendiri.

Lima ilustrasi rasanya cukup untuk sketsa lyfe kali ini. Capek nulisnya, deh.

Persiapan Calon Ibu Sebelum Hamil

Persiapan Sejak Dini |Sumber: Facebook.com/NutrisiUntukBangsa
Persiapan Sejak Dini |Sumber: Facebook.com/NutrisiUntukBangsa
Dari perspektif kesehatan, aku mendapat pengetahuan bahwa secara umum perempuan punya peran penting dalam persiapan diri menjadi calon ibu yang sehat. Ini konteksnya adalah menyiapkan generasi emas bangsa Indonesia, ya dong!

Kecukupan Gizi Calon Ibu | Sumber: Facebook.com/NutrisiUntukBangsa
Kecukupan Gizi Calon Ibu | Sumber: Facebook.com/NutrisiUntukBangsa
Seriusnya, Indonesia masih di peringkat ke-4 dalam masalah stunting. Penyebab terbesarnya adalah problem kurang gizi, terutama kekurangan zat besi (anemia defisiensi besi). Bicara soal ini bikin mumet, karena mata rantainya ruwet. Dimulainya dari mana, seperti teka-teki ayam dan telur duluan mana adanya.

Bisa dimulai dari tahapan bayi dalam 1000 Hari Pertama Kelahiran, kecukupan gizi dan kecukupan zat besi pada remaja atau ibu hamil, nah! Ini dari aspek kesehatan.

Sekian dulu ya, yang penting menurutku bila sebuah pasangan punya anak, jadilah orangtua yang penuh kasih sayang, tidak lelah belajar tentang cara pengasuhan (parenting), bertanggung jawab dalam mendidik mereka menjadi anak harapan bangsa beradab, bukan sekadar sukses secara materi. Berikan anak dengan asupan cinta dan kelembutan! Tidak sengaja kadang menyaksikan orang tua yang setiap hari membentak dan melulu penuh perintah dan larangan, tapi jarang terdengar dialog sehat. Lho, cukup, cukup. Mohon maaf semoga nggak ngelantur.

Indria Salim - 17 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun