Tunggu dulu! Itu sesudah saya menganggap kantor di mana saya pertama kali bekerja adalah "my dream job". Posisi keren, peran penting, lingkungan kerja bikin kerasan, reputasi dari orang di luar kantor "bergengsi", kata mereka.
Zaman dan situasi dibandingkan masa sepuluh tahun lalu, tentu sudah banyak berubah. Â Ketika itu belum ada istilah WFH karena keharusan karena adanya pandemi. Ini menambah faktor pertimbangan semakin panjang untuk memikirkan keinginan mengundurkan diri, dan atau demi mendapatkan pekerjaan baru.
Back to my neighbor's case. Hari ini dia masih bekerja di kantor yang sama, dalam jabatan yang sama, dan juga jadwal kerja persis sama. Nah!
Mungkin tetangga itu sudah mengirimkan surat lamaran lengkap dengan persyaratan lainnya, besar kemungkinan lamarannya tidak mendapat respon dari kantor tujuan. Saya agak yakin, karena kalau dipanggil interviu, dia tentu mengabari saya.
Kemungkinan lain, dia memutuskan tetap bekerja seperti biasa, suka atau tidak suka toh banyak orang dirumahkan selamanya.
Dia mungkin menyadari posisinya di peta "job market", tidak ada yang tampak ideal baginya untuk keluar dari "zone nyaman" sepahit-pahitnya pekerjaan sekarang. Terlebih untuk posisi manajerial, sulit baginya mencari pekerjaan baru dengan fasilitas dan gaji yang didapatkannya sekarang.
Kompetisi antar pencari kerja semakin ketat, pola rekrutmen dan kriteria kandidat terkuat belum tentu dimilikinya.
Menurut saya, secara analogis hal ini berlaku bagi mereka yang ingin resign -- apapun posisinya.
Dalam lingkaran pertemanan dan profesi saya sendiri, acapkali terdengar keluhan, "Mohon doanya ya, agar suamiku bulan depan tidak masuk daftar pegawai yang diPHK."
Lainnya, "Hi Gaess, kalau kalian kebetulan punya info loker, kabari aku ya. Aku dan suami mulai minggu ini sudah nggak kerja lagi."
Di lain WAG, "Hola, Kawans -- kunjungi olshopku ya. Aku jualan bermacam-macam perlengkapan kesehatan. Ada masker, minyak kayu putih, madu, minuman empon-empon. Berkualitas dan murmer!"