Hari ini menu makan siang di rumah sangat basic, atau klasik mungkin -- nasi putih, gudangan atau urap, dan lauknya telur ceplok.
Ketika aku menggoreng telur, bunyi prekutuk-prekutuk yang asalnya dari minyak panas, telur yang masih basah, dan sejumput kecil garam halus membuatku tersadar, 'Sudah lama nggak bikin telur ceplok!"
Ini membawaku pada kenangan masa kecil, hampir setiap hari telur ceplok nggak pernah absen di atas meja makan sebagai lauk sarapan. Kebetulan akulah yang ditugasi ibuk menyiapkan lauk ini, karena adikku persis (cowok), bertugas menanak nasi -- saat itu masih dengan cara ngeliwet dulu, lalu dikukus di dandang.
Duh, nggak menyangka gara-gara makan siang hari ini, aku teringat betapa banyak berkat Tuhan pada keluarga besarku.
Di mata manusia, kami mungkin bukan orang berharta, bukan keluarga pejabat tinggi atau tokoh masyarakat, bukan keluarga yang tidak pernah berdebat, salah paham antara anggota keluarga satu dengan yang lain, berbeda pendapat, dan sebagainya.
Ibarat barang perlengkapan dapur di dalam satu rak piring, terkadang ada saja yang namanya "benthik" (b.Jw. yang artinya berdentingan, bertubrukan karena tersenggol).
Walaupun begitu, keluarga tetaplah merasakan ikatan darah yang kental. Bersyukur ikatan itu pengikat utamanya adalah ibunda kami tercinta, yang kini kami panggil dengan sebutan Eyang.
Oh ya, di rumah itu selera kami beda-beda, termasuk cara spesifik menikmati telur ceplok.
Aku suka bagian putihnya nggak garing, nggak berminyak, dan bagian kuningnya aku suka garing maupun cukup matang saja. Ada lagi yang suka kuning telurnya saja. Karena sayang putih telur ditinggalkan di piring, maka kuhabiskan lingkaran telur yang bolong itu.
Adikku yang cowok suka telurnya super garing, lantas dia goreng ulang tuh telur yang terhidang.Â