Pagi ini aku berolah raga jalan kaki. Berkeliling seputar tempat tinggal. Matahari tampak menyembul dari Timur. Pepohonan membiaskan berkas-berkas sinar hangat mentari.
Aku mengenakan masker andalan, nyaman dan lumayan seru warna dan motifnya. Tidak lupa kulindungi mata dengan kacamata berlapis debu dan anti ultra violet.
Belum satu jam, tiba-tiba angin bertiup kencang. Gemerosak pepohonan membuatku bergegas mengarahkan langkah menuju rumah. Sesampai di gardu Pos Satpam, gerimis lamat menyapu wajahku. Setengah berlari kupercepat langkahku.Â
Baru mencapai pagar rumah, langit meredup dan sedetik kemudian seluruh kawasan merupa gerhana matahari total. Gelap pekat.Â
Hari ini aku tergugu. Seorang tetangga hanya tiga rumah di sebelah kananku dikonfirmasikan positive Covid-19. Lagi? Memang pandemi masih menggila.
Hujan badai dalam arti yang sebenar-benarnya berlangsung selama tiga jam penuh, dan konstan. Laju dan curah hujan sedikit melandai walau tetap deras, berakhir empat jam kemudian. Total tujuh jam semua warga tidak ada yang ke luar rumah.
Begitulah sketsa hari ini yang kutuntaskan dalam sebingkai puisi.
S'ketika
Terkadang memberi tanda
Mengiring gemuruh hujan
Memantik gerimis
Menggamit geledeg berlidah petir
Menabuh guruh
Genderang langit membahana
Ciutkan nyali pengelana sunyi
Langit kelam
Hiaskan panggung peragaan.
Kilat!
Dahsyat.
Sontak.
Menyapu karang tanpa ragu.
Ahli bumi dapat meramalkan cuaca. Namun siapa mampu kendalikan derak garangnya.
Berselimutkan gigil dan cemas, manusia mencari perlindungan.
Memimpikan digdaya penaklukan.
Semesta memiliki cara pandang tak terduga.
Semua dapat dibumiratakan.
Semua tanpa pengecualian. Semua saja.