Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Manusia Merencana, Tuhan Menentukan

13 Februari 2021   13:13 Diperbarui: 13 Februari 2021   21:49 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semikron Debu Semesta | Foto: Indria Salim

Hari ini tanggal tiga belas Februari 2021. Ulang tahun siapakah kiranya?
Ini sehari setelah tahun baru Imlek 2021, yang baru sekali ini dalam satu dekade tidak diiringi oleh kehadiran Sang Hujan, gerimis, rintik tipis-tipis, boro-boro hujan lebat. 

Tapi, soal hujan di hari raya Imlek 2021 itu dengan catatan kejadian di seputar tempat tinggalku, atau keberadaanku saja. Entahlah, mungkin di tempat lain hujan malah berlangsung  sehari-semalaman?

Keheningan menjadi warna baru di lingkungan tempat tinggalku. Itu terlebih sejak beberapa bulan terakhir ini Pak RW teratur mengedarkan informasi melalui WhatsApp Paguyuban yang isinya mengingatkan warga agar tetap waspada 5M - Memakai masker, Mencuci Tangan, Menjaga jarak, Menghindari/ menjauhi kerumunan, dan Membatasi mobilisasi.

Himbauan itu seringnya menyertai pengumuman adanya warga yang baru saja terkonfirmasi positif Covid-19. Sejauh ini di klasterku yang terdiri dari dua belas RT tercatat ada 12 warga terkonfirmasi Covid-19 (per Januari 2021), semua sudah sembuh, kecuali satu orang wafat.

Di media sosial yang kuikuti, ada saja setiap minggunya orang menuliskan ucapan turut berduka cita atas wafatnya teman, saudara, kenalan, atau tokoh  terkenal/ terkemuka.

Di balik adanya berita duka cita, acap kali ada ungkapan kaget dari mereka yang mengenal Si almarhum(ah), "Baru minggu lalu saya menyapanya saat dia lewat depan rumah bersepeda pagi," atau "Dia barusan pergi mengunjungi kantor cabang yang di kota X," dan sebagainya.

Aku bergeming sambil mematuhi protokol kesehatan sebisaku. Di masa sulit begini, aku berusaha merentangkan isi dompet sedemikian rupa hingga cukup menutupi kebutuhan setidaknya enam bulan ke depan. Kebutuhan primer, sekunder, tersier -- aku sudah lupa mana yang mana.

"Rezeki sudah dijatah dari Yang Maha Kuasa," kata orang-orang.


Walau begitu, bagiku kesehatan itu rezeki tak ternilai!
Tentu aku terus bersyukur di tengah khilafku yang sesekali dihampiri pikiran yang mengajakku mendadak jadi cemas, atau pesimis.

"STOP, enyahlah kau pikiran khawatir dan pesimis!" kesadaran warasku menghardik.


Lantas kulemparkan jauh-jauh kebisingan nirguna itu, eeh  lha ternyata berubah menjadi sebuah puisi!

Aku membekukan itu di sini, maafkan ya, my Diary.
***
HIDUP ITU

Hidup adalah mengkinikan status dunia segala rupa.
Hidup adalah menyantap gorengan kekinian.
Hidup adalah menyeruput dahaga misteri.
Aku bercuit, aku di bumi.


Matahari seakan membeku.
Alaska menjadi air bah.
Kuman sebesar gajah menggeram.
Insan dunia terus berperang,
antara ego dan super ego,
menolak terang sambil memeluk kegelapan.


Bumiku satu, langitku tiada batas.
Cinta, kerinduan, kebajikan, dan rasa welas asih mengabur dari pandangan.
Tercampak dari gelak tawa musang dan buaya jelmakan manusia pujaan.
Hidup itu sebuah nama terlekat makna.
Itu sejatinya. ::Indria Salim, 13 Februari 2021::

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun