Di Indonesia, salah satu isu aktual dan sensitif sarat pro-kontra dan polemik adalah tentang radikalisme. Seserius apakah pemerintahan Presiden Jokowi terkait pemberantasan radikalisme di bumi Nusantara?
Apakah batasan atau definisi radikalisme itu?
Mengapa pemerintah terkesan khawatir dengan fenomena radikalisme, khususnya kemungkinan terpaparnya sebagian ASN dan aparatur negara?
SKB 11 Menteri dan Aplikasi Pengaduan
Baru-baru ini 11 Menteri dan Lembaga menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara (ASN). Seiring dengan penandatangan tersebut, pemerintah juga meluncurkan portal aduan www.aduanasn.id.
Kesebelas penandatangan SKB itu ialah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan HAM, Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BKN, Kepala BPIP, dan Komisi ASN.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas, Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang merupakan inisiatif Kementerian Kominfo bersama-sama dengan Kementerian PANRB, Kementerian Hukum dan HAM mengadakan diskusi yang bertempat di Gedung RRI Pusat, pada hari Selasa, 10 Desember 2019.
Pembicara pertama adalah Ahmad Rifai, Inspektur Wilayah III Kementerian Hukum dan HAM. Rifai menyatakan bahwa radikalisme itu berhubungan dengan pemahaman tentang perubahan politik, dan tentang keagamaan dan keyakinan.
Ciri-ciri Radikalisme, antara lain
sikap melawan yang mainstream dan unsur mainstream. Radikalisme itu, apabila tidak dikelola dengan baik akan berakibat seperti yang terjadi di Irak, Suriah, dan Afganistan, dan ini membuat kekacauan situasi, Â menimbulkan kekisruhan politik, sosial, dan ekonomi. Menurut Rifai,
kini secara masif fenomena ini sedang berkembang.
Ini khususnya dengan perubahan rezim ketika ada pintu kebebasan yang luas. Maka dampaknya adalah degradasi makna demokrasi dan pemahaman Pancasila.
Paradigma semacam ini cenderung dikembangkan via platform dan media sosial secara online.
Agar tidak kecolongan, Pemerintah ingin mengatur agar hal ini tidak sampai pada situasi yang tak terkendali
Salah satu penyebab radikalisme, adalah keterbatasan keilmuan, khususnya soal keagamaan. Kebetulan Rifai akrab dengan kehidupan para santri, maka bisa dikenali apabila ada hal-hal -- seperti misalnya Faqih dipahami secara tekstual, dan dangkal. Â Radikalisme menurutnya sudah ada sejak era Nabi. Mereka yang radikal itu bahkan melawan dan memprotes Nabi dengan menyatakan bahwa beliau tidak adil dalam membagi pampasan perang.
Faktor lain bisa dilihat dari mudahnya orang menjadi khatib, yang mungkin asal merasa bisa. SKB 11 Menteri diterbitkan dengan
tujuan agar keharmonisan di Indonesia tetap terjaga.
Bagaimana ASN Terpapar Ideologi Radikalisme?
Berdasarkan data statistik dan hasil riset tahun 2017, sebanyak 19,4% ASN (4 juta orang) terpapar radikalisme.
Ada yang "sebatas ideologi", ada yang anti Pancasila, ada juga tingkatan yang lebih berat lagi.
Kalo ketidaksetiaan ASN pada negara dibiarkan, siapa yang akan melindungi Indonesia?
Mayoritas dari mereka adalah golongan milenial, mereka yang mendapatkan atau menimba informasi dari media sosial, belajar agama tanpa guru melainkan dari sumber yang belum tentu valid yang ada di internet (google, dan sebagainya).
Di sini mereka kemudian tertarik dan menaruh minat jihadi, takfiri. Ketika ASN milenial terpapar -- mereka yang masa kerjanya sekitar 12 tahun, biasanya begitu karena tidak kritis dalam menyaring informasi.
Disayangkan sekali, karena begitu menemukan informasi tanpa bersikap kritis, mereka pun tidak bertanya pada ulama atau "guru" yang kompeten (ahlinya).
Pembicara kedua yaitu Mudzakir -- Sekretaris Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB, yang menjelaskan tentang landasan hukum SKB 11 Kementerian.
Landasan Hukum
SKB 11 Kementerian ini sebenarnya hanya penguatan dari peraturan yang sudah ada. Oleh karenanya SKB ini tidak mengatur norma baru dari peraturan terkait yang sudah ada.
SKB 11 Kementerian menyampaikan hal yang simpel, meskipun tidak terlalu normatif. Ini adalah penguatan dari UU yang sudah ada, yaitu PP tahun 1953 tentang disiplin PNS (ASN).
UU ASN Nomor 5 Â Tahun 2014 memuat ketentuan tentang nilai-nilai dasar pada empat pilar negara Republik Indonesia.
Manajemen PNS (ASN)
SKB 11 Kementerian tujuannya justru untuk melindungi paparan radikal di kalangan ASN.
SKB ini merupakan niat baik pemerintah demi menjaga keharmonisan ASN, sehingga kehidupan di tengah-tengah masyarakat tetap terjaga. Tidak dipungkiri, radikalisme itu sangat berbahaya, karena mengancam integritas bangsa.
Pembicara ketiga adalah Rosarita Niken W -- Sekretaris Jendral Kementerian Kominfo.
Dia menegaskan bahwa SKB 11 Kementerian itu merupakan sinergitas dari berbagai Kementerian, yang bertujuan untuk melindungi ASN dan mendudukan ASN pada posisi yang seharusnya.
Lebih lanjut Niken menjelaskan bahwa PP Nomor 53/Tahun 2010 -tentang Disiplin PNS, disebutkan hak dan kewajiban PNS (ASN). Dalam peraturan itu, ASN berkewajiban melindungi dan membela negara, karena ASN Â sudah mendapatkan haknya sesuai ketentuan PNS dan P3K.
Hak yang sudah diterima antara lain gaji, tunjangan, fasilitas, jaminan pensiun, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hukum dan pengembangan kompetensi.
Maka kewajiban ASN/ P3K, yaitu: Setia dan taat pada pilar-pilar kebangsaan negara Indonesia (UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Melaksanakan  kebijakan pemerintah; dan
Menyimpan rahasia jabatan;
SKB hanya untuk mengingatkan hak dan kewajiban tersebut. Kewajiban tentunya mengandung tanggung jawab. Jadi bila hal itu tidak dilakukan, ASN dan Aparatur Negara bisa terkena sanksi, sesuai dengan kategori pelanggarannya.
Dari kewajiban ini ada detil cakupan yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran yang layak dikenai sanksi.
Terkait dengan itu, Niken mengungkapkan bahwa sejak satu bulan diluncurkannya portal aduan, tercatat sebanyak 94 aduan berasal dari berbagai pihak, termasuk pemda, BUMN, departemen, dll. Sejauh ini belum dianalisis komposisi dan jenis aduan tersebut, karena memang masih "baru".
Penutup
Masyarakat bisa memanfaatkan aplikasi aduan yang ada. Ada proses validitas aduan untuk menghindari fitnah, selain juga mencegah masyarakat awam dari salah lapor.
:: Indria Salim ::
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H