Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjalananku dan 11 Tahun Kompasiana

31 Oktober 2019   13:37 Diperbarui: 31 Oktober 2019   16:10 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berjalan sendiri, atau bersama-sama? | Foto: pixabay.com

Lagi nunggu angkot mau pulang dari jalan-jalan pagi.
Disamperin seorang perempuan paruh baya, wajahnya serasa kukenal di lingkungan tetangga.
"Bu mau ke mana?"

Kulihati wajahnya, feeling mengatakan dia butuh duit dengan ngojek iseng-iseng begitu.
"Saya ngojek juga tapi pribadi," jelasnya seperti menjawab tanya dari pandang mataku.
"Ke situ berapa?"
"Terserah Ibu aja," katanya.

Semula ingin naik angkot karena bisa nyambung jalan kaki lagi mumpung hangat matahari menggoda sekali, namun kuat berempati padanya, aku spontan memutuskan untuk naik ojek amatiran ini.

Begitu naik, dia mulai nanya-nanya seperti menghimpun info kebiasanku bepergian. Sudah gitu cara mengemudinya bikin aku was-was -- pelan kaya siput tapi pindah-pindah persnelingnya menghentak-hentak dan tiap beberapa detik pula.

"Udah deh nggak usah ngobrol, saya takut nih jalanan padat."

Dia langsung diam tapi tetap dengan gaya mengemudi yang payah.
Dia lebih gemuk (baca: kekar) daripada aku, juga tampaknya usia produktif. Memakai baju mirip blazer panjang, kancingnya terbuka dari atas sampai bawah mengarah ke punggung. Mungkin dia cuma butuh menutupi lengan, tangan dan bagian depan badan saja.
Tanpa tutup kepala (helem atau topi), rambut kejurnya ditekuk dengan jepitan rambut biasa. Itu menambah kesanku, dia meluangkan waktu meninggalkan rumah demi mendapatkan tambahan penghasilan.

Saking lambatnya dia mengendarai motornya, aku serasa sedang duduk mojok di ruang kerja, merancang sebuah tulisan tentang perempuan ini. Kupikir akan menulis tentang perempuan ini dengan menambahkan elemen inspiratif tentang kerasnya perjuangan hidup. Halah!

Sampai di depan pos satpam kompleks aku minta berhenti. Dia nanya, "Ibu kalau masuk kompleks biasanya gimana?"
Kujawab sekenanya, "Jalan kaki, ya apa aja."
Kuangsurkan uang yang lebih banyak dibanding kalau aku naik gojek, atau opang.
"Ibu, gak bisa kalau segini, saya nganter dari X aja segini."

Seketika aku merasa tertipu dengan modus "terserah Ibu saja" yang awalnya dijanjikan padaku.
Kutambahi sesuai "kode" nominal yang diinginkannya. Jadi kesal, aku serasa setengah "ditipu", atau "diintimidasi".

Gak bilang terima kasih, dia main selonong malah masuk ke kompleks, berdalih "mau cari Oma yang pernah saya antar ke sini."
Aku makin curiga, dia mungkin orang yang sering keliling kompleks ini, mungkin tukang kue keliling ... mungkin mirip saja.

Aku kesal dengan diri sendiri yang mudah ganti rencana walau sepele, cuma karena merasa "bersimpati" dengan bujukan orang tak dikenal.

Dalam skala besar, menyangkut finansial jumlah besar aku juga pernah terbujuk, lalu tertipu dengan "wajah penuh harap" seperti itu. Mereka ada yang muda dan cantik, ada yang santun, ada yang kumal -- ah, mereka tidak berhak mendapatkan simpatiku ternyata,  KZL banget kalau ingat itu. Untung waktu itu aku segera move on, demi keseimbangan dan kesehatan mental! *Eh*

Masih ngeganjel, kuceritakan pengalaman ini pada tetanggaku yang baik hati. Dia bilang, "Ikhlaskan, jadikan pelajaran. Eeh tapi jangan sampai dia masuk sini buat mata-mata perampok, ya?"

Tetangga nggak mengada-ada, perampok ada saja yang berhasil mencuri barang di perumahan ini.
Btw, I love Gojek. Sopirnya baik-baik banget. They deserve good rewards and remuneration.

Eh jadi ingat dengan penawaran ojek soliter begini tapi oleh sopir pria setengah baya. Keputusan pakai ojek amatiran juga karena bersimpati. Dengan bapak-bapak yang bilang "ongkos terserah Ibu" ini, dia benar-benar apresiatif dengan ongkos standar normal yang kuberikan padanya. Aku malah menyesal mengapa nggak kasih "bonus".

Kadang, dalam kasus super khusus, emak-emak (perempuan) tega menipu sesama emak-emak. Well, bukan bermaksud bias gender tapi ... hmm sulit deh menceritakannya, karena "it is an old, long story". Katakanlah, ini sebuah kebetulan saja.

Nambah cerita lagi, ah! Kini aku teringat mengobrol asik di bus Trans-J. Ngobrol seru tentang kemacetan dan perbandingan wilayah perumahan di Bekasi dan Tangerang.

Dia berhijab sederhana, wajahnya manis tanpa polesan.
Dari kesederhanaan penampilannya, kutangkap pengalaman "piknik boncengan motor" yang menurutku keren.
Informatif tanpa berlebihan, dia membagi tips berbelanja di Tanah Abang. Aku berterima kasih dengan informasinya.
Pas dia bayar ongkos bus Trans-J (di halte tidak bisa bayar karena mesin rusak), dia malah mau membayariku, dan tentu saja kucegah.

Aku tersentuh dengan ketulusannya, Ibu-ibu yang juga tidak kukenal sebelumnya. Anak perempuan yang bersamanya itupun mencium tanganku saat berpamitan turun duluan. Sebelumnya, aku memang mengusap pelan bahunya, mengingatkan agar hati-hati di jalan.

Perjalanan lima belas menit,  mengungkit peristiwa konyol yang lama menguap seiring perjalanan usia. Jangan-jangan ini kutukan kecil pepatah yang mengatakan, "You can't teach an old dog new tricks".

Oke deh kalau begitu. Mengkaitkan cerita hari ini, kusampailan betapa berartinya Kompasiana sebagai bagian dari perjalanan proses kreatifku.

Apapun yang kutulis, selagi itu bukan sumpah serapah menyampah, Kompasiana #BeyondBlogging
menerima karyaku. Bukan, ini bukan soal K-Rewards yang membukit, apalagi menggunung. Soal ini bahkan nyaris tidak kuharap, karena faktanya aku baru sekali menerima hadiah ke akun Gopay-ku, itu selama dua tahun sejak berlakunya K-Reward.

Ngaku saja dong, aku cukup setia dan bangga bahwa dalam kesempatan menghadiri event di manapun, walau itu bukan acara kerjasama dengan Kompasiana, kadang malah ngobrol dengan pemilik warung ketupat sayur di pasar, kuperkenalkan diriku sebagai Penulis di Kompasiana, platform blog  Kompasiana.com ya        .

Reaksi spontan penuh penerimaan dan kepercayaan dari lawan bicaraku menyiratkan bahwa Kompasiana itu nama jaminan, reputasi bergengsi, dan kadang auto-asosiatif dengan kebesaran dan kredibilitas nama media berita mainstream KOMPAS.

Hal lain yang membuatku tetap sayang dan bangga sebagai penulis Kompasiana, karena Kompasiana adalah belanga pemikiran, asa, inspirasi, dan karya ratusan ribu penulisnya.

Secara mental, aku merasa sebagai bagian dari sebuah "keluarga besar Kompasiana". Namanya juga menjadi bagian dari keluarga, banyak bahagia, kadang kecewa, kadang cuek satu sama lain, tapi jiwa keKompasiana-an dan ikatan batin terus hidup dengan berbagai dinamikanya.

Membicarakan peran Kompasiana bagiku, aku perlu menuliskan catatan bahwa ulang tahun Kompasiana ke-11 yang jatuh pada tanggal 22 Oktober 2019 ternyata juga membawa kisah sukses tersendiri dari platform blog yang menuju #BeyondBlogging ini.

Siapakah di balik meja kerja Kompasiana? Foto: Indria Salim
Siapakah di balik meja kerja Kompasiana? Foto: Indria Salim
Penuturan COO Nurulloh pada acara Kumpul Rame Sore-sore di Museum Bank Indonesia, 25 Oktober yang lalu, membawa harapan kemajuan dan transformasi Kompasiana menuju  #BeyondBlogging sesungguhnya. Tahun ini Kompasiana menunjukkan performa terbaik sepanjang perjalanan sampai menginjak usia ke-11.

"Saya sekaligus ingin mengucapkan terima kasih kepada Kompasianer atas kontribusinya sehingga platform ini terus berkembang dan menjadi yang terbesar sekaligus bermanfaat," ungkap Nurulloh.

Di tahun-tahun mendatang diharapkan agar Kompasiana berhasil mengembangkan komunitas yang berkontribusi pada penguatan tali persaudaraan masyarakat setanah air.

Mengintip sekilas Acara Kursor, 25 Oktober 2019, silakan klik video ini.

Pada acara Kursor yang lalu, Nurulloh memaparkan misi terdekat Kompasiana, yaitu fokus pada value proposition. Ini antara lain dilakukan dengan mengoptimalkan value kepada pengguna, baik nilai komersial maupun nilai sosialnya.

Menengok Kompasiana yang dulunya memiliki filosofi "Sharing and Connecting", dengan cara analogis Platform ini diharapkan terus mampu menjadi platform yang interaktif bagi siapapun dan sekaligus adaptif di tengah keniscayaan perubahan zaman, juga era digital. Konsistensi, inovasi, menjaga esensi era digital yang sehat, ini yang menurut Penulis merupakan kata kunci penting menjaga eksistensi Kompasiana.

Mari kita ramaikan event Kompasianival 2019 yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 November yang akan datang. Ini adalah sebuah perhelatan besar, melibatkan banyak tokoh sukses dan inspiratif, dan kita turut aktif merayakan #11TahunKompasiana bersama-sama.

Salam sukses! :: Indria Salim ::

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun