Semua yang melekat pada diri, khususnya bila itu adalah "keistimewaan dan kemewahan langka", hendaknya disadari sebagai kepercayaan dan tanggung jawab dari Yang Maha Kuasa. Tidak setiap warga negara memiliki kemewahan berorasi dan panggung berpolitik, maka bila ada kesempatan untuk itu, sebaiknya melakukannya dengan bermartabat.
Menjadi salah satu tokoh penting dalam sebuah entitas kekuasaan, walau berada di luar lembaga ataupun di dalam lembaga resmi negara, DPR atau partai politik pun, secara moral implisit menuntut adanya integritas dan tanggung jawab, kelompok atau pribadi.Â
Mengamati apa yang terjadi terkait kasus hoaks yang kemudian diakui langsung oleh pelaku, dalam forum publik oleh yang bersangkutan yaitu Ratna Sarumpaet, sungguh mendukakan hati sebagian rakyat yang cinta akal sehat, alih-alih sikap akal-akalan. Dalam hal ini, lingkaran elite yang pada awalnya didukung oleh Ratna, sangat mengesankan melakukan kelicikan dan kemunafikan tanpa henti, yang sangat jelas terbaca oleh khalayak, terkecuali para pendukung kelompok itu.
Tidak sulit membuktikan adanya fenomena kemunafikan, tendensi melemparkan tanggungjawab, usaha cuci tangan, pernyataan pretensius, dan inkonsistensi yang saya maksudkan itu.Â
Cuitan twitter Hanum Rais, Fahri Hamzah, pernyataan-pernyataan pengacara Amien Rais (AR), juga AR sendiri, Fadli Zon, Prabowo, Dahnil Anzar, Hidayat Nur Wahid, dkk. -- mohon maaf terkesan lebih sebagai pola-pola cari pembenaran, pengalihan isu (red herring), maling teriak maling, dan egoisme luar biasa tinggi. Ada hal yang tidak sinkron -- kedudukan dan gelar akademis mencorong dan tinggi yang berbanding terbalik dengan integritas yang seharusnya ditunjukkan oleh sikap kepemimpinan yang baik.
Banyak contoh konkrit yang mencerminkan hal di atas. Semua vulgar dan jelas terpapar di pemberitaan media massa maupun dari pernyataan mereka sendiri di akun-akun pribadi berbagai media sosial.Â
Ada yang mengkritik biaya penyelenggaraan konferensi internasional, sementara diri sendiri menikmati gaji besar untuk menebar kenyinyiran yang tidak mendidik.Â
Ada yang menyinyiri pemerintah yang ditudingnya sebagai penguasa otoriter, mereka sendiri melecehkan insitusi penegak hukum sambil mengatur dan berusaha melakukan intervensi kepada proses hukum yang seharusnya mereka patuhi.Â
Ada yang ingin ganti presiden atau menggantinya bila perlu dengan cara lebih cepat daripada proses yang sudah diatur oleh UU yang ada (melalui pemilu), sementara diri sendiri memaksimalkan peluang sistem demokrasi yang berlaku, dengan menyiapkan anak-anak sendiri memenuhi kuota caleg wakil rakyat. Itu pun, tidak begitu terbaca prestasi karya konkrit mereka di tengah masyarakat luas. Memang, UU memungkinkan hal itu, namun siapa bisa memastikan bahwa suara-suara kritis tokoh politik, misalnya AR bebas dari kepentingan pribadi?
Mohon maaf bila hal ini tidak tepat benar tertuangkan dalam tulisan ini. Bisa dibayangkan seandainya yang dia lakukan itu diperbuat oleh Presiden, misalnya dengan mendukung Kaesang, Gibran dan Kahyang semuanya maju dalam ajang caleg. Untungnya itu tidak terjadi.
Kutipan dari Viva.co.id (09/X/2018) -- [Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, memohon kepada kepolisian agar menghentikan penyidikan kasus kebohongan Ratna Sarumpaet hanya pada Ratna. Â
 "Saya mohon kepada kepolisian kasus ini dihentikan kepada Ibu Ratna, dan minta kepada negara agar menolong Ibu Ratna, jangan-jangan dia membutuhkan psikolog," katanya dalam perbincangan di program Indonesia Lawyers Club di TvOne, Selasa 9 Oktober 2018.]
Kita semua tahu , siapa pun wajib menghormati prinsip kesetaraan secara hukum.
"Sekretaris Kompolnas Bekto Suprapto mengatakan, diprosesnya kasus penyebaran berita bohong yang diduga dilakukan oleh Ratna Sarumpaet menunjukkan penerapan prinsip kesetaraan di hadapan hukum atau equality before the law." (Kompas, 11/X/2018)
Masih banyak hal lain yang kalau dielaborasikan, akan memunculkan fakta kemunafikan, sikap kekanak-kanakan, dan egoisme yang menyedihkan rakyat, dilakukan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai oposisi calon pemimpin masa depan asalkan presidennya ganti. Wacana besar tidak sebanding dengan karya dan pencapaiannya yang nyaris nol.
Semoga warga negara bisa lebih cerdas memaknai ini semua, dan tetap optimis menyongsong Indonesia lebih baik setiap harinya. Bagaimanapun saya percaya bahwa "manusia bisa berubah", dan harapannya semua tokoh di atas pun berubah semakin bijaksana, dan lebih memikirkan kepentingan Indonesia dan rakyatnya, bukan kepentingan kelompok, koalisi, bahkan sebatas keluarga. | Indria Salim -- Kompasianer, dan bukan tim sukses atau buzzer |
Referensi: satu,dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, duabelas, tiga belas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H