Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelisah, Sepenggal Kisah Penjual Nasi Gudeg

9 Oktober 2018   18:47 Diperbarui: 10 Oktober 2018   08:22 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Santai tapi serius, kami berbincang tentang sepotong perjalanan hidupnya, dan dari obrolan itu dia tahu saya menulis -- pun dia dulu pernah suka menulis dan membaca. Saat masih muda dulu, dia suka membeli buku dan majalah bekas dari tukang loak. Untuk ini dia memesan khusus yang majalah intisari, dan buku-buku karangan Kho Ping Hoo, SH Mintarja, buku-buku Agatha Christie, dan beberapa lainnya.  "Sampai sekarung, dan harganya murah sekali," kenangnya. Kini dia tidak lagi melakukan kedua hobinya itu, karena matanya sudah tidak tahan membaca dan menulis.

Singkatnya, tulisan Bu Gesti semuanya adalah puisi, puisi berbahasa Indonesia, dan geguritan yang artinya puisi juga tetapi berbahasa Jawa. Beberapa kali puisinya pernah dimuat di koran Sinar Harapan, itu sekitar tahun 1976-an. Bu Gesti jebolan SMA Negeri di kota kelahirannya, di Solo. Pada masa-masa kegiatannnya memulai usaha katering, Bu Gesti kadangkala menerima "pesanan puisi" dari beberapa orang yang tahu dia menulis puisi. Menurutnya orang-orang pesan puisinya untuk keperluan ulang tahunan, dibacakan saat penyambutan tamu dalam suasana berkabung, dan sebagainya.

Obrolan mengalir santai saat dia menunggu jemputan menantunya untuk pulang. Saya lupa persisnya, tapi saya berhasil memintanya membacakan puisi karangannya. Luar biasa, dia seperti membaca dari sebuah catatan, padahal dia mengucapkannya hapal di luar kepala. Dia sempat mengoreksi satu kata yang diucapkannya, dari "ketika", yang seharusnya "saat".

Puisi itu dia tulis karena kegelisahannya di usia "dewasa" namun belum bisa memenuhi harapan orang tua untuk berumah tangga. Dia menjelaskan, di zamannya itu seorang perempuan berusia 24 tahun dan belum menikah menjadi pikiran dan kekhawatiran kedua orang tuanya. Demikian kisah sekilas dari pasar basah di dekat rumah. | Indria Salim |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun