Permintaan maaf yang tulus akan menekankan pada tindakan nyata, sikap yang mendukung ungkapan "maaf" itu, dan ini tidak tergantung pada reaksi atau tanggapan orang yang dimintai maaf. Dari sini, sudahkah "maaf" dari kelompok insiden hoaks itu memenuhi nilai-nilai permintaan maaf yang tulus? Atau itu semata adalah upaya menghindari jerat hukum atas dugaan keterlibatan penyebaran hoaks? Dengan kata lain, "maaf" yang tulus, atau "maaf" yang dimaksudkan untuk cuci tangan?Â
Penyesalan atau permintaan maaf yang tulus tidak mengedepankan sikap ngeles. Sebaliknya, permintaan maaf menekankan dan dinyatakan sebagai tindakan dan sikap yang mengutamakan perasaan dan keadaan pihak lain yang dimintai maaf, dalam hal ini kegaduhan yang diakibatkan oleh tindakan mereka. Fakta yang ada, mereka minta maaf kepada konco-konco sendiri, yang juga saling meratap menjadi sesama korban. Padahal korban yang sebenarnya adalah masyarakat Indonesiaa, yang sedang berduka dan sibuk mengatasi kedukaan mendalam pasca bencana alam luar biasa.
Dalam kasus ratu hoaks tebaik, dia sendiri saat ditetapkan sebagai tersangka dan harus ditahan, mengakui (kali ini keren), bahwa itu adalah sebuah konsekuensi yang harus dia tanggung.
Bagaimana dengan orang-orang lingkaran dalam yang meminta maaf itu? Mereka tampak mulai menyalahkan pihak lain, dan mengancam pula untuk melaporkan balik kepada siapa pun yang melaporkan mereka. Dalih pelaporan adalah perundungan, pencemaran nama baik, dan semacamnya.Jadi, mana jejak permintaan maaf yang kemarin mereka ungkapkan dengan beragam dalih itu?
Permintaan maaf yang tulus membutuhkan bukti dan sikap tulus bahwa mereka tidak akan melakukan "penampilan atau ulah yang sama seperti saat mereka "terpaksa" harus minta maaf." Nyatanya? Ada yang kembali sombong, ada yang meremehkan panggilan polisi meski sekadar dalam statusnya sebagai saksi, berita yang beredar bisa kita baca sendirilah.Tentunya, itu memberi kesan pada khalayak bahwa pernyataan maaf mereka sekadar omong kosong, rangkain kalimat basa-basi atau jurus menghindari diri dari keterlibatan masalah. Permintaan maaf bukan selalu diharapkan agar itu membuat orang yang menyatakannya merasa "nyaman kembali". Inti permintaan maaf justru seharusnya fokus pada kepedulian terhadap pihak lain yang disakiti, digerecokin, ya begitulah seharusnya.
Kesimpulannya, apakah yang kemarin meminta maaf itu jujur menyesal dan menyadari perilaku yang memang harus disesalkan karena merugikan pihak lain, karene telah membuat kegaduhan, karena menuduh orang lain tanpa dasar, karena lain-lain?
Permainan, atau apapun namanya, masih terus bergulir panas, ngeri-ngeri sedap. Saya, netizen yang bagai sebutir debu di pantai Talise, merasakan kesedihan bahwa pesta demokrasi menggemakan gendang bernada sumbang, alih-alih melodi sejuk ceria yang menghibur negeri yang terlanda bencana. Tarian apa lagi yang akan tertampilkan. Terus menggeruskan nurani akal sehat dan nilai-nilai kebajikan demi sebuah ambisi bernama kekuasaan, demi ambisi golongan, demi apa lagi? Yang berduka, | Indria Salim |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H