Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Empati dan Doa untuk Warga di Wilayah Bencana Gempa dan Tsunami

30 September 2018   22:42 Diperbarui: 1 Oktober 2018   18:17 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doa untuk Donggala, Palu, dan Sulteng |Twitter @Joko Widodo

Kepala Data dan Pusat Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, "Korban gempa dan tsunami di Kota Palu terus bertambah. RS Bhayangkara Palu saat ini jumlah 261, dan masih terus bertambah. Kemarin sudah diidentifikasi 87 jenazah oleh Tim DVI Polri. Proses identifikasi terus dilaksanakan." (30/9/2018)

Pasca bencana gempa dan tsunami, saudara-saudara kita di Sulawesi Tengah -- Dongala, Palu, dan sekitarnya sungguh memerlukan bantuan semua pihak. Dari logistik, perawatan dan pertolongan medis, papan, pemulihan trauma, dan dukungan agar mereka tetap bersemangat. Siapa pun yang membantu, kita harapkan karena panggilan kemanusiaan

Bila kita tidak bisa memberikan bantuan material atau secara fisik dengan kehadiran kita, maka dukungan doa serta hal-hal lain yang positif akan jauh lebih elok daripada menyuarakan asumsi, opini, atau kenyiyiran di ranah mana pun --membangun demi lebih efektifnya proses rehabilitasi dan tanggap darurat, tetap perlu, namun jangan sebatas kritik model penonton pertandingan sepak bola atau komentar pemirsa sinetron.

Mari kita belajar berempati, mengembangkan sifat welas-asih secara umum, dan kepada yang benar-benar membutuhkan secara khusus dalam konteks interaksi kemanusiaan. Meskipun Indonesia memasuki masa kampanye di tahun politik, sebaiknya kita belajar mengendalikan diri dalam melihat situasi bencana. Jangan sedikit-sedikit curiga, berprasangka bahwa mereka yang terjun ke lapangan itu kemungkinan punya agenda kampanye. 

Sebaliknya, siapapun yang membantu atau melibatkan diri dalam bantuan korban bencana -- baik di lokasi ataupun dengan cara lain, hendaknya juga bisa memisahkan kepentingan politik dengan niat kemanusiaan.

Presiden Joko Widodo, “Duka rakyat Sulawesi Tengah, duka kita semua. Dengan saling bergandeng tangan, dampak bencana ini kita hadapi bersama.” (30/09/2018)

Twitter Presiden Jokowi,
Twitter Presiden Jokowi,
Misalnya saja, Presiden yang mengunjungi langsung kondisi pasca bencana di Palu, kita percayakan saja kepada beliau, bahwa itulah tugasnya sesuai kapasitas kenegaraannya. Dalam kapasitasnya, Presiden berhak dan sudah kewajibannya memberikan arahan kepada para "pembantunya", pun memberikan dukungan semangat kepada rakyatnya yang sungguh-sungguh butuh dukungan total secara moral dan material. 

Lebih indah lagi bila ada harmoni dalam kasus kemanusiaan seperti itu, misalnya para wakil rakyat yang terhormat, secara institusi maupun pribadi tergerak memberikan bantuan nyata dan itu dalam satu bendera merah putih, bukan bendera partai. Ini ilustrasi saja.

Bila setiap dari kita menyempatkan diri merenung barang lima menit saja, membayangkan diri kita dalam posisi para korban bencana di tanah air ini, dan terkini adalah Palu dan sekitarnya, serta sebelumnya wilayah Lombok, apa yang akan kita rasakan? Apa yang akan kita lakukan bila menjadi keluarga korban baik yang meninggal atau yang luka-luka? Apa yang kita harapkan dan teriakkan dalam kondisi yang menurut saya sungguh memilukan dan mencabik ketegaran hati? Lima menit saja, bayangkan diri kita ada di posisi mereka yang di wilayah terkena bencana itu. 

Tetap tegar? Tetap bisa bertindak normal? Berpikir tenang? Tetap memikirkan kenikmatan yang dalam keadaan normal keseharian kita nyaris seakan otomatis kita anggap sudah dengan sendirinya menjadi hak kita?

Tidak bisa tidur di dalam rumah sendiri bersama keluarga, tidak bisa dirawat di rumah sakit ber-AC karena berada di dalam gedung berisiko terkena gempa susulan, cemas mencari sanak keluarga yang belum ada kabarnya, ibu terpisah dengan anak, anak terpisah dengan orang tua, bagaimana? Belum lagi kebutuhan primer sebatas makan dan minum saja sudah menjadi semacam "mission difficult" atau "mission impossible", mau tetap nyinyir?

Bandingkan sekarang, satu orang individu bisa sangat menuntut perhatian, perhatian seluruh masyarakat Indonesia, melakukan gerakan "perjuangan" yang sebenarnya tidak begitu jelas siapa yang diperjuangkan selain yang pertama dan utama adalah dirinya sendiri. Mau tahu siapakah itu? Tanyakan pada Raja Salman. Tanyakan pada para pengacara Rizieq. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun