Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bekerja Itu Mulia, Kerja, Kerja, Kerja!

12 September 2018   19:50 Diperbarui: 12 September 2018   22:40 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Catatan Bukibuk*

Hari ini suhu udara di tempatku ekstrim panas. Ini cocok dengan ramalan cuaca BMKG yang memprediksi cuaca ekstrim di Jabodetabek beberapa waktu ke depan, bahkan saat ini. Aku sempat jalan pagi, belanja jalan kaki. Pulang naik ojek. Lemas.

***

Tiduran sampai tidur beneran, bangun tapi aku nggak mampu bangkit. Setelah nekad, kepala nyeri dan badan kelimpungan keluar kamar tanpa AC serasa ada di perapian yang semburkan hawa super panas. AC hanya buat satu kamar, mungkin itu yang bikin badan bingung kalau harus ke tempat berhawa "alami".

Mikir keras gimana bisa segera aktif kerja tanpa minum obat, kuguyur kepala dan leher belakang langsung dari air kran dalam rumah (wastafel). Serasa mandi air panas, tidak hanya suam-suam kuku, tapi benar-benar maknyos. Lalu aku jalan hilir mudik, menengok ke depan dan memandangi halaman yang menghadap jalan yang sangat terik.

Pintu depan terpaksa kututup karena dari luar anginnya menyemburkan hawa panas. Setelah minum sebungkus Tolak Angin SidoMuncul yang tinggal satu-satunya, lalu aku bikin kopi panas, dan mencoba pertama kalinya menambahkan satu sendok kecil madu dengan harapan mempercepat pemulihan tenaga. Lalu aku mencari kegiatan pengalihan pusing, memotret makanan remeh-temeh.

***

Berangsur-angsur sakit kepala mereda, dan tubuh mulai berdamai dengan cuaca. Saat begini, aku teringat para "pekerja lapangan" yang entah bagaimana diberi kekuatan di atas rata-rata orang zaman digital.

***

Orang zaman digital termasuk gen Z dan milenial, kuamati tidak tahan panas, terkecuali untuk peristiwa-peristiwa khusus. Itu pengamatan sekilas dan subyektif di sekitar rumah, dan yang kudengar dari sana-sini saat ada di tempat kegiatan lain. Lalu, kuingat pagi tadi ketemu bukibuk muda yang naik motor menjajakan roti bikinan sendiri dan suaminya.

 Dia kedengaran agak emosional (terharu) pada setiap orang yang membeli kuenya. Sampai ada satu pembeli yang mungkin pelanggannya, bilang, "Jangan gitu-gitu amat. Aku malah males beli kalau terima kasihnya berlebihan. Lagian, aku juga 'dah lama nggak pesen kuenya."

***

Kulihat dua pihak (pembeli dan penjual) tampak sungguh-sungguh berekspresi, tidak ada pretensi. Pun begitu saat aku membeli, Penjual tampak sangat berterima kasih, terus terungkap sedikit dari pertanyaanku yang sambil lalu, bahwa dia dan suami jualan roti ini sampai kurang tidur. Katanya, "Pas saya bikin kue, suami ngurus anak. Pas suami bikin kue, saya jualan, atau tidur."

Kue Pie bikinan rumahan, sebuah usaha keluarga. |Foto: Indria Salim
Kue Pie bikinan rumahan, sebuah usaha keluarga. |Foto: Indria Salim
Kuingatkan, "Jangan naik motor kalau pas ngantuk atau kelelahan. Kudoakan usahanya maju, dan hidup memang perjuangan."

Dia tampak tulus menjawab, "Ibu juga, ya, jaga kesehatan." Dari caranya memandangku, dia seakan berkata, "Ibu juga hidup dalam perjuangan."

*Ah, apa aku sama pengharunya dengan penjual kue itu?*

Btw, kue pie susu bikinannya enak, sepotong Rp 5.000,- pun beragam rotinya.

Saat itu sebuah monolog terlintas di benak, jangan pernah menertawakan, atau meremehkan etos "Kerja, Kerja, Kerja", kecuali mengingkari fakta bahwa dari buruh pengumpul sampah sampai Presiden dan para menterinya pun memang harus bekerja keras dan sungguh-sungguh. Dari yang paling sederhana atau sepele, semua bekerja berdasarkan gagasan, aspirasi, cita-cita, tujuan hidup, sampai yang sudah menjadi kebijakan.

Jangan pernah membuat rakyat pesimis, apalagi bila dengan cara menebar kabar bohong. Rakyat mana pun bekerja keras, dan mereka perlu pemimpin yang memberi semangat dan mengajak bangsanya optimis, meskipun harus realistis. Wacana kosong, pesimisme, dorongan membuat kabar bohong dan palsu -- mending disimpan saja di jurnal pribadi, kecuali bila itu "hobi atau profesi".

Salam Kompasiana Beyond Blogging - | Indria Salim |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun