Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Bakpao" Itu Mengempis, Membusuk, Lantas Apa?

24 April 2018   20:44 Diperbarui: 25 April 2018   08:32 2398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Putusan Majelis Hakim pada hari ini (24/IV) memvonis terdakwa kasus pidana Korupsi e-KTP, yang adalah mantan Ketua DPR-RI, Setyo Novanto dihukum pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim menyatakan Novanto terbukti mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP.

Dalam kasus ini, Setyo Novanto adalah tersangka utama. Sebelumnya, ada usaha permohonan untuk menjadikannya sebagai justice collaborator. Permohonan itu ditolak Majelis hakim yang sepakat dengan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal penolakan permohonan justice collaborator yang diajukan terdakwa Setya Novanto.

Dalam hal ini alasan Majelis Hakim adalah, bahwa penuntut umum menilai terdakwa belum memenuhi syarat sebagai justice collaborator, majelis tidak dapat mempertimbangkan permohonan terdakwa karena tidak memenuhi persyaratan untuk itu.

Ketua Majelis Hakim Yanto didampingi hakim anggota Emilia Djajasubagia, Anwar, Ansyori Syarifudin, dan Franky Tambuwun membacakan amar putusan terhadap Setyo Novanto ini, yang memuat putusan lainnya, yaitu bahwa Setnov wajib membayar uang pengganti USD 7,3 juta yang dikurangi uang Rp 5 miliar yang dikembalikan Novanto ke KPK; pencabutan hak politik selama 5 tahun; dan melanjutkan pemblokiran rekeningnya di Bank.

Beragam reaksi tertampilkan di media sosial, antara lain Twitter. Ada yang merasa puas, cukup puas, dan tidak puas. Ada yang membuat ungkapan dan artikel yang diunggah di media 'alternatif' yang mempertanyakan vonis itu. 

Tendensinya adalah melakukan pembelaan terhadap Setnov, dan sebaliknya ada nuansa mengungkapkan harapan adanya elite lain di partai yang bukan menjadi partai Setnov juga "terciduk".

Wajar saja bila satu kena, ada pendukung yang membela dan menginginkan pihak lain pun mengalami ganjaran serupa, dalam hal ini adalah masuk bui.

Pada awal-awal dan di tengah proses persidangan kasus Setnov, sempat terdengar suara suara tanpa nama, yang menyatakan pesimisme tervonisnya Setnov yang populer dikenal sebagai belut politik dengan jam terbang tinggi.

Pesimisme itu juga antara lain disebabkan kekhawatiran bahwa bila Setnov terpenjara, seluruh Senayan akan tutup warung, itu ekstrimnya. Tentu tidak seliteral itu, namun tidak dipungkiri ada sederet nama elite politik yang disebut-sebut terlibat dan atau turut menikmati jatah uang e-KTP.

Faktanya, selain Setnov yang hari ini tervonis bersalah, sebelumnya ada 3 nama yang sudah menjadi terpidana, yaitu: Mantan Pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Kedua mantan pejabat ini semula tervonis penjara masing-masing 7 dan 5 tahun penjara. Satu lagi adalah Andi Narogong, yang tampaknya belum selesai persidangannya.

Namun, putusan itu dikasasi ke Mahkamah Agung (MA), dan hasilnya justru memperberat vonis sebelumnya. Adalah Majelis Hakim Agung yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar yang memutuskan kasasi dengan memperberat hukuman menjadi 15 tahun penjara.

Sebagai warga masyarakat biasa, Penulis merasa cukup puas dengan putusan Majelis Hakim Tipikor Pusat yang memvonis satu tahun lebih ringan dari tuntutan Jaksa. "Cukup", itu relatif, apalagi kalau mengingat kekhawatiran tentang sebagian pihak yang pesimis tentang keberhasilan KPK dalam prosesnya memberantas Korupsi di negeri ini. 

Banyak kasus ketika KPK dengan susah payah dan memakan energi waktu dan mental banyak pihak, mengumpulkan data dan bukti, menetapkan siapa tersangka dan siapa saksi, yang hasilnya berujung pada vonis Majelis Hakim yang masyarakat anti korupsi anggap sebagai vonis hukuman yang terlalu ringan.

Banyak pihak memandang bahwa proses pengadilan kasus e-KTP harus berlanjut sampai tuntas. Maka Ketua KPK Agus Raharjo memastikan penyelidikan kasus korupsi e-KTP tidak hanya berhenti pada Setya Novanto. KPK memastikan seluruh fakta persidangan akan dicermati dan ditindaklanjuti. 

Semoga KPK dan semua yang berwenang dalam penegakan hukum dan pemberantasan Korupsi tetap konsisten, bernyali, dan cukup energi serta amunisi melanjutkan amanah rakyat Indonesia dalam penyelesaian kasus ini.

Sayangnya, seperti yang dilansir oleh berbagai media nasional maupun internasional, skandal e-KTP juga terkait dengan nama-nama Menteri dalam kabinet pemerintahan. Menyedihkan. 

Politik, seperti halnya ilmu sosial dan fenomena kehidupan nyata, bukan hal yang steril dan menjadi bidang yang berdiri sendiri. Seperti sebuah mesin, semua menjadi mata rantai yang saling berkaitan. Semoga "yang salah seleh", yang bersalah akan mendapatkan hukumannya.

Oh ya, masih segar ingatan pembaca berita bahwa Setnov sempat bawa-bawa nama Tuhan dalam upaya meyakinkan khalayak dan penegak keadilan, dengan pernyataannya, "Saya percaya bahwa Allah SWT Maha Tahu apa yang saya lakukan, dan Insya Allah apa yang dituduhkan itu tidak benar," kata Novanto dalam konferensi pers di Gedung DPR, Selasa ( Kompas, 18/7/2017).

Catatan Penulis mengapa hal ini harus tuntas, masyarakat sudah dirugikan secara waktu, material, dan mental. Mereka yang terlibat itu jelas tidak menjalankan amanat dan tanggung jawab sesuai sumpah jabatan. 

Selain itu, mereka juga merusak moral bangsa dengan menampilkan keburukan, kebusukan, dan pembohongan publik baik secara diplomatis maupun vulgar. Bakpao itu sudah mengempis, membusuk, dan layak dibuang ke sampah berkategori tidak bisa didaur ulang, karena memang sampah yang penuh kuman penyakit.

Catatan lain, terdakwa (yang sejak hari ini menjadi terpidana), membacakan pledoinya yang menurut Penulis sangat ironis, atau "layak dikasihani". Itu antara lain adalah penggambaran betapa terpidana dulu semula adalah mahasiswa miskin yang bersedia bekerja apa saja, dari jualan beras, jualan madu, menjadi model, sales mobil, kepala penjualan mobil di Indonesia Timur, perpindahannya dari kampus di Surabaya ke Yogyakarta, lalu menjadi pembantu yang kerjanya mencuci dan mengepel serta sebagai sopir antar jemput anak mantan Menpora Hayono Isman. Itu semua menurutnya demi bisa menyelesaikan kuliah. Jejak perjuangan mulia berakhir sia-sia.

Semoga seluruh elemen bangsa ini memetik hikmah dan pembelajaran dari kasus ini. :: @IndriaSalim ::

Referensi: Dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun