Supir Angkot yang Baik Hati
Pada suatu hari saya ingin pergi ke Pasar Sinpasa yang berlokasi di dekat Sumarecon Mal Serpong (SMS). Saya nebeng tetangga sebelah yang untuk menuju ke kantornya melewati lokasi tujuan saya. Sampai di perempatan di dekat SMS, saya turun dan untuk ke lokasi saya hanya perlu menyeberang. Saya berdiri di depan zebra cross. Jalanan di wilayah Serpong itu sungguh luas, entahlah saya tidak pandai membuat perkiraan berapa lajur jalanan itu, mungkin satu jalurnya bisa meliputi setidaknya 4 mobil. Di situ jalanannya adalah dua arah dengan sekat di tengahnya.
Situasi pukul 07.45wib sebenarnya tidak terlalu padat, namun kendaraan tidak pernah berhenti mengalir dan rata-rata lewat dengan keccepatan lumayan tinggi. Selang beberapa saat sebuah angkot berwarna kuning bergaris ungu tua melewati saya dan melambatkan kecepatannya. Sopir melongok, menyebutkan lokasi tertentu. Saya menggelengkan kepala.
Setelah hampir 15 menit saya berdiri di tepi jalan zebra cross, angkot itu tidak juga beranjak. Sopirnya sempat dua kali meyakinkan diri bahwa saya memang tidak akan naik angkotnya.
Di sana tidak ada satupun yang menyeberang jalan. Lalu, sopir itu bertanya dengan agak berteriak, "Mau ke mana, Bu?"
Saya menunjuk ke arah seberang jalan. "Ke sana," saya tersenyum tipis.
Saya tetap memperhatikan jalan dari arah kanan di mana lalu lintas berasal. Saya baru menyadari, dari semua arah lampu di perempatan itu mati, seakan sekadar hiasan pelengkap jalan. Sayangnya di sana tidak ada jembatan penyeberangan.
Saya memutar otak untuk menemukan cara ke tempat tujuan. Saya berpikir, "Masa saya harus naik angkot dulu, lalu balik lagi naik angkot yang sama dengan jalur yang di seberang jalan."
 Baru mikir-mikir begitu, dari arah kiri saya yang berarti dari tempat angkot itu berhenti, seorang laki-laki berusia setengah baya menghampiri saya. Baju kotak-kotaknya rapi, pun rambutnya -- seperti seorang pekerja di tempat sekitar.
"Mau menyeberang, Bu? Mari sama saya."
Begitu jarak kami agak dekat, dengan mudah dia melangkah menuju ke tengah, sambil meminta jalan kepada kendaraaan yang lewat. Tidak ada mobil atau kendaraan lain yang mengerem mendadak. Semua dilakukan dengan tenang. Beberapa langkah ke tengah, tangannya terulur seperti mau membimbing saya.
Dalam hati, "Uzurkah saya ini?" (sambil geli sendiri, sih). Err, nggak juga sih, cuma katrok! Bukan apa, kalau jalanannya penuh kendaraan, saya malah berani menyeberang bila tidak ada jembatan penyeberangan karena lalu lintas padat membuat kecepatan agak terhambat.
Saya hanya berjalan sedikit menjauh yang artinya saya bisa mengikutinya tanpa harus bergandengan tangan selayaknya orang yang bermasalah dengan kesehatan tulang atau sejenisnya.
Lalu, setengah lebar jalan terlampaui dengan lancar, masih separuh lagi yaitu jalur yang berlawanan arah. Dia menoleh untuk memastikan bahwa saya bisa mengikutinya. Saya bilang, "Kalau jalur ini saya bisa menyeberang sendiri, deh."
Ternyata jalur itu sama ribetnya, ya diseberangkan lagi deh. Akhirnya saya dan Bapak itu sama-sama sampai di tepi seberang. Lalu dia bilang, "Sudah, Bu. Saya balik, ya."
Hahaha, lha iyalah 'silakan kembali ke kegiatan Anda sendiri, 'batin saya agak geli padahal saya sungguh terharu.
"You are an angel," saya menggumam sendiri.
Saya amati dia menyeberang, mendadak saya kepo sekaligus ragu apa benar dia itu Pak Sopir angkot yang berhenti itu. Pikir-pikir, lucu juga saya tidak yakin dia tadi dari mana munculnya. Itu karena penampilan (kerapiannya) di atas rata-rata sopir angkot pada umumnya. Biasanya mereka memakai kaos oblong biasa, sih. Mendadak terpikir, jangan-jangan dia pemilik angkotnya sendiri. He he he.
Dari seberang jalan yang cukup jauh, saya amati dia tidak menuju ke angkot itu. Dia malah memasuki jalan di persimpangan perempatan itu. Saya amati sejenak, lalu dia kembali lagi tapi tidak juga menuju ke angkot melainkan ke deretan toko-toko di jalur itu.
Oh ya, rasa kepo saya itu lebih karena otak terkontaminasi dengan kisah-kisah nyata tentang malaikat penolong di sekitar kita yang kemunculan dan perginya serba mendadak dan agak misterius. Lha saya pernah dimintai tolong menerjemahkan kisah nyata pengalaman teman yang merasa ditolong "malaikat".
Angkot itu kaca jendela depannya tertutup, dan kacanya berwarna lumayan gelap. Saya berharap bahwa di dalam ada orang duduk yang berarti sopirnya. Tampaknya kosong. Lha kenapa kalau mau "urusan lain-lain kecuali menunggu dapat penumpang", kok nggak tadi-tadi saja dia turun dari angkotnya, ya?" batin saya.
Sampai sekitar 3 menit Bapak yang menyeberangkan saya tadi belum tampak kembali muncul, apalagi ada yang kelihatan memasuki angkot.
Wis embuhlah. Saya sudah puas mengucapkan terima kasih sambil mendoakan dalam hati agar Pak Sopir itu diberi kesehatan dan rezeki yang bagus.
Hal yang mungkin bagi orang lain "biasa" seperti itu, menurut saya sungguh layak dituliskan. Saya sering berjumpa dengan orang-orang baik, meskipun kami tidak saling mengenal.
Dengan satu dari banyak kejadian bertemu orang-orang baik, saya menyimpulkan bahwa itu adalah sapaan Yang Maha Kuasa, "sebisa mungkin berbuatlah baik kepada sesama, meskipun mungkin kamu tidak mengenalnya."
Salam Kompasiana Beyond Blogging :: @IndriaSalim ::
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H