Pohon beringin itu mungkin umurnya setua nenek buyutku, atau nenek buyutnya nenek buyut. Itu namanya nenek canggah. Aku menyebutnya Si Beringin Tua. Sulurnya yang panjang dan sebesar tambang kuli pelabuhan, menambah perkasa Si Beringin Tua. Ah sebut saja SBT.Â
Setiap jam istirahat pukul 9.30 wib, Wahyuni, Sawitri, Muji, Ratna, Sekartaji, dan dua teman lainnya aku sudah lupa namanya, dan aku sendiri reriungan di bawah SBT. Sambil membuka bekal masing-masing, kami mengobrol ngalor ngidul. Lalu Muji mulai memancing teman-teman lain mendesakku bercerita. Mereka suka dengan cerita khayalanku.Â
Aku memang memakai banyak cara yang bikin teman jadi penasaran. Lalu dari reaksi teman-teman itu, muncullah ide cerita. Ngarangnya benar-benar ngawur. Ngarang maksimal, begitulah. Seringnya aku kehabisan ide di tengah-tengah cerita, namun begitu aku diam teman-teman pada heboh.
"Ayolah, terusin ceritanya. Masih ada waktu 10 menit lagi. Kata Ibuku, cerita harus sampai selesai. Kalau tidak, bakal ada yang meninggal karena ada yang menghentikan cerita sebelum selesai," begitulah Muji memang menyebalkan.
Lalu akupun mencoba memanjang-manjangkan cerita, entah isinya nyambung atau tidak. Sesekali kulihat wajah teman-teman, karena saat bercerita suasana jadi hening. Wuih seperti apa saja ya? Kalau otak lagi buntu, aku alihkan saja perhatian temanku dengan menceritakan kisah seorang bapak dan anaknya.Â
Begini, ...
Ada seorang bapak. Dia menemani anaknya tidur. Ibunya sedang sibuk di dapur, bekerja lembur.Â
Lalu Anak berkata, "Pak, mbok aku didongengin."
Si Bapak, "Okelah kalau begitu. Pada suatu hari, ada seorang bapak. Dia menemani anaknya tidur. Si anak minta bapaknya mendongeng buatnya.Â
'Pak, mbok aku didongengin.'
Bapak, 'Okelah kalau begitu. Pada suatu hari, ada seorang bapak. Dia menemani anaknya tidur. Si anak minta bapaknya mendongeng buatnya.'
Dan selanjutnya. Tahu kan maksud saya?
Teman-teman riuh tertawa tapi campur sebal karena merasa kukerjai. Salah sendiri ya, minta didongengin kok maksa.
Bertahun-tahun kemudian, aku tidak pernah ketemu satu pun teman SD-ku itu. Hanya saja pas aku masih di SMP, kudengar dari Ibu kalau Wahyuni sudah tiada karena sakit tipus.Â
Waktu berjalan, kita suka atau tidak. Aku sudah mahasiswa. Pada semester 5, semua mendapat tugas semacam kerja sukarela di pedesaan. Aku mendapat kelompok dengan anggota tiga orang -- Aisyah dari Fakultas Pendidikan, dan Mas Yanto yang sudah berkeluarga, nyambi kuliah di Fakultas Ekonomi. Mas Yanto sering pulang, jadinya hanya ada aku dan Aisyah, yang tinggal di rumah Pak Lurah.Â
Pada suatu siang yang panas, kami ingin berkunjung ke desa tetangga, tempat kelompok mahasiswa lain berada. Alasan sebenarnya sih, mencari teman senasib karena berada di desa yang jauh dari suasana di rumah itu nano-nano sekali. Air sulit, makan ya seadanya yang bahannya dipetik dari halaman Bu Lurah. Kendaraan tidak ada. Hanya ada mobil sejenis angkot, tapi datangnya seperti komet -- satu jam sekali, atau lebih lama dan itu pun penumpangnya sampai bergelayutan di tepi pintu.Â
Kami memutuskan ke desa tetangga berjalan kaki. Entah bagaimana, kami merasa sanggup karena berpikir melewati jalan pintas, menyeberang sungai kering, dan melewati hutan jati.Sempat kesasar di jalan yang tidak ada terusannya ha ha ha. Lalu dengan arahan penduduk setempat, kami balik badan ke arah berlawanan, menyusuri sungai kering, belok ke kiri, nah melewati semacam tebing melintang dan menghadang rute jalan kami. Di situ aku melongok ke kiri dan ke kanan. Kumenunjuk ke arah kanan ke Aisyah, "Is, di sana itu sepinya kok aneh ya?"
Aisyah mencubit lenganku, sakit banget, "Mbak Indria!"
Aku masih ngomel sedikit, tapi dia membisu. Teman seperjalananku ini mukanya pucat dan tegang.
Kami menurunin tebing landai, lalu menaiki kelokan beberapa meter, di sebelah kiri ada pohon yang berbeda dari lainnya. Jelas beda karena tempat itu dipenuhi pohon jati. Nah ini kalau tidak salah adalah pohon Trembesi. Atau pohon Beringin. Akar-akarnya menonjol di permukaan tanah, sehingga aku tergoda untuk duduk di atasnya. Rasanya sungguh lega menghempaskan diriku ke 'tempat duduk' di pohon itu.Â
Lalu, "Is, istirahat bentar di sini. Sejuk nih buat tidur sejenak, lima menit saja!"
Aisyah cemberut. Aku cuek.Â
"Is, kalau mau duluan gak apa-apa. Nanti aku menyusul."
Aisyah bergeming dan membelakangiku, memandang ke arah depan dan tangannya bersedekap.Â
Aku memejamkan mata. Wuih, rasanya hening dan membuatku seperti tersihir.
Siyuuut, siyuut, serrr, serr -- wuih anginnya sejuk! Kepalaku terbenam di dalam dekapan lenganku yang bertumpu di lutut. Kulirik Aisyah. Dia masih bergeming, mematung, dan memunggungiku. Kulanjutkan keasyikan menikmati angin sambil masih memejamkan mata.Â
Mendadak aku mendongak. Dengan suara sedikit keras, kukagetkan temanku yang tak berdaya itu. "Is, di sana ada apa tuh?" jari telunjukku mengarah ke tempat dari mana kami tadi berjalan.
Seketika aku melihat makhluk tinggi besar, muka rata, bagian mata merah seperti bara yang tertiup angin. Makhluk itu berpakaian serba hitam, rambut berjurai-jurai seiring dengan tiupan angin. Aduh!
Namun kami jelas tidak mengatakan apa-apa tentang Si Mata Api itu. Hanya ada aku dan Aisyah yang mendadak lari sekencang-kencangnya. Setelah 15 menitan, kami menoleh ke belakang. Dia masih berjalan ke arah kami. Jalannya seperti robot.Â
Kami berlari lagi, tetapi aku tidak bisa menggerakkan kakiku yang terasa lemas. Asiyah menyeret aku dengan sandal jepitku yang nyaris putus talinya."Is kita berdoa dengan cara masing-masing," kataku nyaris tanpa suara.
Begitulah sampai tanpa terasa, kami sudah berlari selama hampir satu jam. Ada suara bapak dan anak, juga suara timba sumur bergerak. Kami sampai di sumur itu, dan Bapak itu sedang mengisi air dari ember timba.
Si Bapak terkejut. "Lho, bu mahasiswa dari mana mau ke mana?"
Dia tahu kami mahasiswa yang tugas lapangan dari jaket dan topi kami. Kami aak-uuk dan hanya bilang sambil terengah-engah, "Aaanu mau ke desa Sumberwatu."
"Oalah, lha kok sampai di sini, apa jalan kaki?"
Singkat cerita, kami tidak bertemu teman mahasiswa, dan balik ke rumah Bu Lurah dengan sia-sia. Malam harinya, aku mengigau hebat. Dalam perasaanku, aku mau ditubruk mayat berpocong putih.Â
Dalam kesadaran mimpi, kuingat kalau mimpi buruk, balikkan bantal. Kumerasa sudah melakukan itu, tapi si Pocong mengejarku terus. Aku terbangun dan mendapati Pak Lurah, Bu Lurah, dan Aisyah duduk di tepi tempat tidur. Mereka setengah ketakutan. Aku masih mendengar eranganku sendiri, tapi tidak kuasa menghentikannya.Â
Setelah beberapa saat, aku benar-benar bangun dan sadar kalau tadi bermimpi dan mengigau. Untung Mas Yanto sudahbalik ke desa. Dia yang tidur di Pendopo dibangunkan juga. Jadi Pak Lurah dan isterinya agak tenang.
Pak Lurah dan isterinya menginterogasi Aisyah. Kedua suami isteri itu saling berpandangan. Lalu kata Bu Lurah pelan, "Persis di tempat itu ada makam orang yang bunuh diri tapi tidak ada yang mengenalnya."
Keesokan harinya aku demam dan panas. Dokter datang. Aku sakit sampai seminggu. Menurut Dokter, aku tidak apa-apa.Â
"Hanya psikosomatis," katanya.
Sampai kini, aku masih punya bayangan jelas tentang si Mata Menyala itu. Walau begitu, tak pernah sekalipun terbetik keinginan kami berdua -- ya, Aisyah dan aku untuk membahas peristiwa itu, Pun tidak untuk menyamakan "penglihatan" kami.
Ah, percayakah pembaca? Jangan-jangan ini karangan fiksi semata. Nah! Salam Kompasiana. :: @IndriaSalim ::
*) Di bagian kisah Si Mata Merah sendiri, judul aslinya adalah Si Muka Rata. Cerpen tersebut dalam versi berbeda diterbitkan dalam buku antologi cerpen "Midnight Stories I" (Penerbit Mediakita, 2013 -- Agromedia Group)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H