Begini ceritanya, kemarin saya mengikuti acara Nangkring Kompasiana bersama Bright Gas. Seperti pada liputan blogger pada umumnya, saya melakukan postingan terkait acara yang sedang berlangsung. Selain untuk berpartisipasi aktif dalam lomba nge-tweet live, saya ingin membagi informasi kepada publik pemakai twitter tentang topik-topik yang layak diketahui, dan perlu.
Saya tidak terlalu aktif di twitter, hanya sesekali memposting atau melakukan Retweet (RT) untuk hal yang menarik minat saya, dan tentu semua sesuai standar kepatutan bermedia sosial, tidak bersifat SARA, tidak memuat konten pornografi baik dalam bentuk teks, embedded video (audio-visual), atau grafis. Itu sebabnya follower saya semacam stagnan dan setiap ada event, follower bertambah sebatas hitungan jari.
Terakhir setelah event Nangkring, ada dua notifikasi akun X dan Y mulai follow akun saya. Saya periksa, untuk mempertimbangkan apakah saya akan follow back atau tidak. Salah satunya itu seperti pada gambar berikut ini. Saya lihat semua isinya adalah video super vulgar orang dewasa melakukan hubungan intim yang sangat mengerikan. Ini video! Bahkan dari kover videonya sendiri, saya tidak berani dan tidak berminat membukanya.
Lima Pertanyaan dan Catatan Saya Yaitu:
- Apa kira-kira tujuan akun tersebut mengikuti akun saya?
- Pertanyaan #2 terkait dengan pertanyaan #1 -- Siapa atau apa di balik akun tersebut, dan mengapa? Dasar pertanyaan adalah dalam konteks akun dengan pencantuman profil, nama, banner, dan deskripsi diri yang tampaknya terkait dengan kontennya. Bagaimana menurut para pembaca?
- Bagaimana para orang tua mencegah dan melindungi anak-anak dan remaja mereka dari tampilan yang mungkin mereka temukan secara kebetulan atau tidak sengaja, bila kontennya sangat jauh dari nilai edukatif?
Pertimbangannya, tidak semua orang tua yang punya anak (usia di bawah umur maupun kelompok mahasiswa) peduli dengan perkembangan sosial dan perilaku anak dan remaja mereka. Selain karena faktor kesibukan bekerja, juga mungkin karena memang awam, atau juga karena mereka sendiri justru adalah pelaku penyalahgunaan dalam bermedia sosial. - Bagaimana menjaga agar akun kita tetap memberikan konten yang baik, positif, bermanfaat sambil menambah folower, dan di lain pihak tidak mendapatkan hal yang tidak diharapkan. Dalam hal ini penulis menyadari bahwa tidak ada tindakan yang tanpa risiko. Memiki akun twitter, mengaktifkannya dengan mengunggah postingan, mengharapkan dan mendapatkan follower baru, dan seterusnya. Â
- Ini saya memposisikan diri sebagai representasi khalayak yang "kurang aktif melakukan riset". Selain melakukan blokir, atau melaporkan akun yang membuat postingan tidak pantas sesuai norma dan nilai yang ditetapkan oleh pihak Twitter, ke mana pelaporan itu harus ditujukan dengan mempertimbangkan keamanan pribadi pelapor -- dan itu juga dari segi perlindungan hukumnya? Bagaimana pula prosedurnya? Â
Di antara media sosial lainnya, saya seperti memiliki trauma dan kengerian tersendiri tentang Twitter. Memang, dalam banyak hal di dunia ini, ada nuansa terang, gelap, dan percampuran antara terang dan gelap. Pun begitu kesan saya tentang kehidupan dan perilaku yang terbaca di permukaan dalam dunia maya di Fb, Instagram, Twitter, WhatsApp, laman-laman blog, dan mungkin lainnya. Namun begitu, Twitter tampak paling liar dan ganas menurut kesan saya.
Saat ini penulis membaca postingan Musisi/ Pianis Ananda Sukarlan di akun pribadinya @anandasukarlan yang sedang merespon cuitan seseorang yang menyerang nama orang lain dengan "tuduhan" yang belum tentu berdasar. Di bawah ini tangkapan layarnya.
Selain itu, saya punya kesan bahwa meretas akun twitter pengguna lain tampak mudah. Ini juga cukup menimbulkan banyak penyalahgunaan. Orang memfitnah pengguna tertentu dengan membuat akun palsu, atau mengambil alih akun pemilik asli untuk membuat postingan sesuai tujuan tertentu oleh pemakai penyalahgunaan.Â
Akun-akun anonim yang kebanyakan menulis hal-hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan bila dilaporkan kepada yang berwajib, dan diketemukan jati diri di balik akun "brengsek"nya, kebanyakan mereka berdalih, akun mereka diretas. Ini fenomena lempar batu sembunyi tangan.