Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Puisi] Sepenggal Perjalanan

2 Februari 2018   21:32 Diperbarui: 8 Maret 2018   09:24 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari belum naik, walau teriknya mencekik. Dua wanita dan satu bocah laki-laki di pangkuan. Sebuah awal drama satu babak.

Wanita muda mengelus kepala bocah di pangkuannya. Dia tersenyum tipis memandangi bocah berambut plontos, yang mendengkur seperti sepur melaju. Sang ibu mengeluh. Mencurahkan kesesakan di dada, tumpahkan kesal kepada kuping lawan bicaranya, seorang perempuan yang lebih tua -- sabar mendengar segala.

"Bocahku rindukan ayahnya," ungkap wanita muda berwajah oval itu kepada kawannya. Terkuak derita pedih, kepala keluarga tinggalkan rumah entah apa sebabnya. Terkisah lelaki itu minta kiriman buat bekal kembali temui isterinya, mungkin. Mendadak wanita itu meradang. Dikatakannya pada kawannya, kutidak akan mengiriminya uang untuk kembali. Buat apa kembali kalau hanya menjadi beban lagi.

Siapa yang mau kasih uang tiga ratus ribu rupiah, sedangkan aku tak pernah punya. Berapa kali lelaki itu merongrongku, meski bocahku semakin merindu. Dulu, aku bekerja keras, pulang malam dia larang. Induk semangku orang dermawan, ayah bocahku merangkai khayalan buruk. Aku bisa dapatkan ratusan ribu, dengan bekerja dari pagi sampai malam. Lelaki itu cemburu, memintaku bekerja sampai pukul dua belas siang. Memang itu perusahaan neneknya? Dia harus tahu, kerja cepat serasa nikmat -- melacur.

*

"Wooi, jangan nutup jalanan, bikin macet aja!" Wanita itu murka seperti singa lapar. Suaranya getarkan angkot yang berdecit-decit.

Wanita pendengar tepekur, kantuk dan semilir angin bersuhu nyala tungku melemahkan tulangnya.

"Ciiiit, gubrak!" Sebuah sedan di depan angkot itu berhenti mendadak. Ada taksi hampir tertabrak. Bocah di pangkuan nyaris terlempar ke mulut pintu angkot. Lengan ibunya tergores jendela kaca angkot yang tinggal separuh, Si bocah masih terlelap. Wajah kawan wanita itu seputih kapas. Bibirnya mencium pinggiran bangku besi berkarat. Astagafirullah!

 Lelaki muda sopir angkot memacu mobilnya. Mobil sedan melaju cepat. Wanita yang semakin pias wajahnya itu, menghiba lemah. Ia memohon agar sopir tenangkan diri. Wanita itu membujuk sopir, berjanji akan mendoakannya banjir rezeki atas kesabarannya. Itu sudah.  :: @IndriaSalim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun