Saya suka bau bensin. Seger.... Itu bila mobil yang saya tumpangi mampir ke SPBU. Wajar nggak? Setidaknya bau bensinnya di tempat yang semestinya. Kalau bau bensinnya di dapur, nah itu baru nggak beres. Saya menghirup bau bensin ketika berpergian bersama sahabat dan kerabat. Saya memang tidak pernah menyetir mobil, untungnya ada saja yang mengantar atau memberi tumpangan saat perlu berpergian. Kalau nggak ada orang di rumah, ya naik taksi, naik bus TransJakarta, atau shuttle bus.
 Pemandangan di SPBU kadang membawa perasaan nyaman dan lega. Selain halamannya luas, ada beberapa sarana yang memenuhi kebutuhan darurat, misalnya toilet atau mini market, tempat isi angin, malah ada tempat buat cuci mobil juga. Ada juga di beberapa kawasan, tersedia gerai ATM dari berbagai bank. Tentu ini konteksnya SPBU di perkotaan, seperti misalnya yang sering saya kunjungi adalah SPBU di rest area tol Karawaci, di dekat RS Harapan Kita, dan lokasi serupa.
Meskipun sebatas sebagai penumpang, saya tetap suka bertukar informasi tentang BBM dengan yang saya tumpangi, tentu bila ada kesempatan. Kadang dalam obrolan ngalor-ngidul, saya juga mendengarkan cerita keluarga, adik-adik dan tetangga dekat soal BBM dan otomotif. Kadang dengan supir taksi juga, terlebih sebagian dari mereka ada yang suka berbagi cerita soal armadanya, BBM-nya, perawatannya, dan bahkan sampai harga mobil terbaru. Mereka suka ngobrol, terlebih ketika sedang mengantuk.
Untuk taksi, yang biasanya kami perbincangkan adalah mengenai kebijakan perusahaannya. Kadang, tentang BBM. Juga kadang tentang tipe mobilnya, pakai "roda besar" atau "roda kecil". Kalau pakai roda besar, bisa berpengaruh ke argonya yang lebih cepat naik. Itu sih kata supir taksi.
Adik saya yang di Ciputat memilih Pertalite untuk mobil APV-nya yang keluaran tahun 2011. Nyaman buat mengendara selain awet buat mesin mobilnya. Sebagai alternatif berkendara, dia pakai motor Scoopy tahun 2010, dan untuk motornya dia pakai Pertamax.
Saya pernah ikut mudik dengan si APV ini, dengan rute Jakarta-Solo yang kemacetannya agak lama sebelum keluar Bekasi, dan menjelang masuk Kota Tegal. Adik saya santai saja, selain agar tetap menikmati perjalanan, dia tidak khawatir harus boros BBM. Dengan Pertalite, pengeluaran buat BBM lebih hemat. Ceritanya, saat itu kami berkonvoi dengan kakaknya, yang adalah adik saya juga. Si APV seringnya di posisi depan, karena mobilnya lebih wuzz wuzz. Nah, karena BBM-nya "cocok".
Ah, adik saya ini memang nadanya bercanda tapi sebenarnya dia serius. Masih menurut cerita si empunya APV ini, Pertalite itu sekilas harganya terkesan lebih mahal, tapi praktiknya kilometernya dapat lebih banyak -- nah ini rahasia lebih hematnya. Saat di Alas Roban yang dulu terkenal dengan ruas jalan rawan kecelakaan itu, mobil melaju tenang tanpa kendala, nyaman sekali. Pemilik APV bilang bahwa ini karena dia pakai bahan bakar yang sesuai. Menurutnya semakin tinggi oktan, maka pembakaran menjadi semakin sempurna. Efeknya adalah daya kerja mesin yang semakin efisien, dan ini yang membuat mesin jadi awet.
Pada kesempatan lain, saya janjian dengan teman lama di kantor dulu. Dia ini rumahnya jauh dari tempat kerja, apalagi dari lokasi tempat tinggal saya. Jadinya kalau mau ketemu, kami janjian di lokasi yang ada di tengah-tengah. Teman saya ini kalau menyetir mantap sekali, terampil, penuh perhitungan, tapi santai. Mobilnya Soluna tahun 2002 berwarna hitam, tampak keren. Itu saya tahu lebih karena perawatan teratur, termasuk pemakain BBM yang "cocok buat mobilku".
Mobil berwarna hitam itu dia beli beberapa tahun lalu, hasil jerih payah bekerja sekian tahun lamanya. Dia suka cerita betapa puasnya dengan mobil yang dipilihnya, karena itu rekomendasi teman kantor kami juga yang sangat tahu mesin. "Aku pakai Pertamax buat Si Hitam. Selain irit, tarikannya oke banget. Aku beli BBM seminggu sekali tapi full tank."