Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hikmah Berpuasa dan Persahabatan

6 Juni 2016   08:49 Diperbarui: 6 Juni 2016   17:14 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyapa Hari Pertama Bulan Ramadan dengan Bunga Mekar |Foto: Indria Salim

Menyapa Hari Pertama Bulan Ramadan dengan Bunga Mekar Berseri!

Penulis mulai berpuasa sejak usia 5 tahun, saat itu belum masuk SD. Awal puasa langsung sehari penuh, makan sahur pukul 3.30 wib, dan berbuka setelah bedug maghrib berbunyi. Tidak pernah pingsan sejak melanjutkan puasa itu selama 30 hari, saat itu. Hanya ada satu kejadian, Penulis lupa mencicipi ayam opor saat berkunjung ke rumah Bulik (adik Ibu) yang sore-sore memasak untuk hidangan berbuka. Hanya satu kali lupa menggigit ayam opor, dan begitu ingat langsung di’muntah’kan kembali (belum sempat masuk kerongkongan) hehehe ..

Meskipun Penulis bukan Muslim, Penulis ‘ikut’ berpuasa sebulan penuh sejak itu, tanpa absen dan melakukannya sepanjang puluhan tahun, setiap bulan Ramadhan. Sebagai staf non-Muslim, saat itu di kantor lama Penulis harus tetap bekerja satu hari kerja penuh (resminya 8 jam) – dari pukul 9.00 wib – 17.00 wib. Untuk staf Muslim, ada peraturan khusus yang setiap tahun berlaku. Mereka boleh pulang lebih awal (setengah hari), resminya setelah 4 jam kerja. 

Dasar pertimbangan peraturan tersebut antara lain adalah bahwa jalanan lebih macet, sedangkan mereka harus berbuka bersama dengan keluarga di rumah. Oh ya, dalam artikel sebelumnya, Penulis mengatakan bahwa kantor yang dimaksud terdiri dari staf yang berasal dari berbagai ras dan kewarganegaraan (multikultural, dan multi ras/ kewarganegaraan).

Bagaimana dengan staf (termasuk para bos)? Mereka tetap bekerja penuh waktu, dan sebagian besar ya seperti biasanya – pulang lewat jam maghrib. Begitu pun yang Penulis lakukan, dan ini kadang sifatnya sukarela karena tuntutan tanggung jawab tugas.

Ketika tinggal di rumah kost, seluruh penghuni dan Ibu Kost tahu tentang ‘tradisi pribadi’ ini. Saya katakan sebagai ‘tradisi pribadi’, karena ini kegiatan tidak wajib bagi saya, bila itu dihubungkan dengan kewajiban religius Islami. Berpuasa di bulan Ramadhan, memberikan pengalaman istimewa dan spiritual yang bukan sekadar pengalaman merasakan sensasi menahan lapar. Ini melibatkan niat teguh, niat tulus, kejujuran pada diri sendiri, solidaritas pada sekeliling, dan keikhlasan.

Berikut ini adalah beberapa kenangan manis yang meskipun tidak diingat-ingat, namun tertanam di benak Penulis.

Peran ‘jam weker’.
 Semua yang berpuasa mengandalkan Penulis untuk menjadi jam alarm agar makan sahur tidak terlewat, atau sengaja ingin dilewatkan. Ini bukan karena orang tidal punya jam weker, atau handphone yang pastinya dilengkapi alarm. Namun biasanya bagi yang berpuasa, dibangunkan secara pribadi (dengan memanggil nama mereka, atau mengetuk pintu kamar mereka) dengan sedikit ajakan bersemangat itu lebih efektif menghilangkan rasa segan bangun untuk makan sahur. Penulis sekadar menceritakan pengalaman ini, tidak bermaksud membuat asumsi. Itu saat era dulu ketika Penulis tinggal di rumah kost. Tentu itu sudah lama berselang.

Menemani teman Muslim makan siang, saat mereka ‘berhalangan puasa’ karena satu dan lain hal: misalnya sedang haid.
 Di kantor, semua tahu Penulis berpuasa sukarela dan menaati jam puasa. Namun begitu, teman-teman tidak segan meminta Penulis temani ke kantin atau ke restoran dekat kantor (atau di ruang sendiri) selama makan siang mereka. Itu karena teman-teman tahu bahwa Penulis tidak bakal tergoda “berbuka” hanya dengan aroma dan penampilan makanan. Jadi dengan ringan hati Penulis menemani ngobrol sementara teman Muslim tersebut menikmati makan siang mereka.

Ada momen berpose bersama teman kantor | Dokpri
Ada momen berpose bersama teman kantor | Dokpri
Jelang Magrib yang asyik, belanja takjilan dan sesekali membawakan takjilan buat teman-teman.
Pedagang musiman yang memajang rupa-rupa makanan khas bulan Ramadan sungguh memberi keasyikan tersendiri. Mereka menjual makanan yang pada kesempatan di luar Ramadan terkesan ‘biasa saja’, namun menjadi makanan yang istimewa dan menjadi serbuan pembeli selama bulan Ramadan. Kolak, Bubur Kampiun, Es Blewah, Ketan Srikaya, Bihun dan Mie Goreng, Bakwan dan Lontong Isi, Asinan buah dan sayur, apa saja terasa lebih istimewa bagi Penulis, dan karenanya senang membeli porsi ekstra untuk siapa saja di rumah.

Lailatul Qadar – Malam Lebih dari Seribu Bulan, kata para sahabat Muslim adalah malam diturunkannya Al Quran. Mereka beramai-ramai khusus menginap di masjid, berangkat bersama dari kantor. Mereka ingin mendapatkan pengalaman ‘menangkap moment spiritual’ itu. Pada sebuah momen jelang makan sahur, Ibu kost mengobrol dengan Penulis. Saat itu hanya ada kami berdua, di teras rumah berdinding kassa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun