Terinspirasi oleh artikel Pak Tjiptadinata Effendi yang terbaru tentang "Apa Beda Lawakan dan Humor Kehidupan?", maka saya posting tulisan berikut ini. Semoga bisa menggambarkan kisah nyata sepersis yang dituturkan oleh teman lama Penulis -- tokoh cerita yang namanya disamarkan.
***
Ibuku sudah sepuh tapi masih melakukan banyak kegiatan: arisan kompleks, menjadi sesepuh kalau ada orang punya hajat kawinan – menyirami manten, misalnya.
Suatu hari, ada telepon berdering. Ibuku yang menjawab telepon. Setelah itu, ibuku melaporkan pesan telepon tadi ke orang serumah.
“Bu Pinah meninggal dunia. Tadi yang telepon anaknya. Dia pesan agar berita ini diteruskan ke teman-temanku yang dulu satu sekolahan dengan Bu Pinah. Ingat kan, Bu Pinah itu rekan guru sesama pengajar di SDN 19?”
Aku terdiam, mengingat-ingat nama semua guru temannya Ibu yang kami kenal. “Yuk kita bantu menghubungi teman Ibuk lainnya. Ibuk punya nomor telepon teman-teman guru itu?”
Sesaat Ibu berpikir keras. Lalu mendadak bengong. Ibu baru tersadar, semua temannya sudah lebih dulu meninggal dunia.
Di situ kami merasa sedih, meski peristiwanya ‘lucu’. Lucu? Sedih ah. Sedih? Ada lucunya. Ah, embuh.
***
Agustawati teman kost-ku dulu. Bagi dia, tidak ada makanan yang nggak enak.
“Setiap makan, kurasa hanya ada dua pengalaman. Makanan itu enak, atau enak banget!” kata Agustina sambil nyengir.
Hari ini Agustawati makan di warung bakmi pojok gang. Biasanya dia kalau beli bakmi, dimakan di tempat kost-nya. Kali ini dia terlalu lapar untuk harus sampai di temapt kost-nya yang jauhnya sekitar 100 meter dari warung bakmi. Saking laparnya, mata Agustawati berkungan-kunang, keringat dingin menderas dan badannya gemetaran bikin lemas. Begitu bakmi ayam goreng disajikan, Agustawati berusaha bisa duduk tegak, maklum rasanya sudah mau pingsan.
Pelan-pelan, sesendok demi sesendok, Agustawati menyuap bakmi dengan hati-hati agar tidak tersedak. Akhirnya, setengah piring bakmi tersisa, Agustawati tidak sanggup menghabiskannya. Kalaupun nekad atau memaksa menghabiskannya dia khawatir perutnya malah kram karena kaget – dari telat makan, lalu kepenuhan makanan.
Dipanggilnya pelayan warung yang ramah itu. Begitu pelayan datang, Agustawati berbisik pelan, “Mas, tolong ini dibungkus buat Ciput--Si-Empus sama Bleki-Si anjing di rumah”.
Sepanjang jalan pulang, Agustawati membatin, 'Ini bungkusannya besar sekali, hmm.'
Agustawati menyimpan bungkusan sisa bakmi ke dalam kulkas, ‘buat sarapan besok pagi, lumayan.'
Keesokan paginya, Agustawati bersemangat sekali sudah punya sarapan. Dia akan memanaskan bakmi yang dibelinya kemarin di wajan teflon. Alamak! Agustawati langsung merasa hampa. Pupus sudah harapan sarapan nikmat bakmi ayam goreng. Ternyata bungkusan itu besar karena isinya sudah bertambah dengan setumpuk tulang-tulang ayam yang pastinya campuran makanan sisa lain!”
“Pelayan warung blo’on!” rutuk Agustawati tak mampu mengucap kata.
Agustawati mendengar ada yang tertawa terbahak-bahak, ternyata tak ada siapapun kecuali dirinya sendiri. “Ahaahahah, pelayannya penuh pengertian, lagian pastinya dia penyayang si empus meong & gukguk”.
Dalam suka dan duka, ah, realita. | @IndriaSalim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H