Ini hanya catatan pagi.
Bangun pagi, merasakan sakit gigi. Baru saja seminggu lalu kukunjungi dokter gigi langganan. Semua bagus, karena aku kontrol ke dokter gigi enam bulan sekali, seperti anjuran ahli kesehatan gigi.
Cenut-cenut, badanku meriang --- panas dingin rasanya. Kuteringat dua minggu lalu, pinggang belakang yang terasa panas, pegal, dan sakit setiap kali kubangkit dari duduk.
Sudah usia? Nggak juga. Banyak orang-orang di sekitarku yang usianya jauh lebih tua. Oma Mimin depan rumah yang masih bersepeda kalau berbelanja, ya – mengayuh sepedanya yang mini, namun dikayuhnya dengan sepenuh tenaga .. syiuuut, syiuuut, seeerrrr, begitu bunyi kayuhan sepeda Oma Mimin yang mendahului langkah jalan pagiku.
Sakit gigi ini membuatku uring-uringan. Mereka yang berpapasan denganku hanya kuberi seulas senyuman, tanpa sapaan. Namanya sakit gigi, konon lebih menyengsarakan daripada sakit hati, ah segitunya ya.
Anjing pudel dengan sang Nyonyah, terdengar langkah larinya yang tak tik tuk plak plik pluk .. membuat aku menoleh ke arah belakang .. pudel memeletkan lidahnya, oh lucunya. Pudel dan sang Nyonyah, kuberi seulas senyuman, maklum aku kan sakit gigi.
Sakit gigi semakin menggangguku. Sesampai di rumah sehabis jalan pagi, aku uring-uringan hanya karena soal sepele. Banyak hal yang membuatku harus berbicara sementara aku hanya ingin meredakan ketidaknyamanan ini. Derum mesin mobil yang di parkir di depan rumah, menumpang parkir di depan pohon manggaku. Ah, supir taksi yang kurang edukasi. Atau, pelanggan taksi yang sudah ditunggu lama oleh taksi, namun kelamaan di kamar mandi.
“Pak, kalau nunggunya masih lama mending mesinnya dimatikan saja. Polusi, dan mengganggu konsentrasi kerja saya. Atau, parkir aja di depan rumah yang pesan, rumah sebelah mana itu? Tolong ya,” pesanku singkat.
Bukan sekali ini aku dibikin jengkel dan heran oleh orang-orang yang sukanya menghidupkan mesin mobil berlama-lama, persis di depan tempat tinggalku. Bahkan pernah malam hari pas semua sedang nyenyak tidur, lha kok tidak tahu diri sekali. Aneh, kusamperin sambil senyum, kuketok kaca jendela mobilnya, malah ada wanita muda di depan sopir nanya, “Ada apa?”
“Mbak, sedang nunggu seseorang, namu, atau bagaimana? Parkirnya depan rumah yang mBak kunjungi saja. Itu kalau mau terus menghidupkan mesin. Lihat nggak, di kawasan ini semua rumah mematikan lampu? Semua sedang tidur, mBak, saya juga – tapi kebangun karena derum mesin mobil mbak, yang sudah hampir setengah jam!”
Begitulah, bermula dari sakit gigi pagi hari, membawa pada lintasan pikiran yang berlalu lalang dan bikin pikiranku teralihkan. Cenat-cenut nyaris terlupa. Oups, gimanapun, aku akan tanyakan soal ini ke dokter gigi langganan, jangan-jangan ada gangguan yang di luar kontrol si dokter saat aku ke sana minggu lalu.
Kuingat kenangan sakit gigi dulu sekali. Itu saat gigi geraham bungsu dicabut oleh dokter bedah gigi. Membuatku menganga berdarah-darah tanpa bisa mengeluh. Akar gigi gerahamku terlalu kuat rupanya, jadi dokternya sampai harus jeda dulu, mungkin istirahat makan siang. Bayangkan, dia mulai membedahku sejak pukul setengah sepuluh pagi, dan kumeninggalkan klinik gigi setalah pukul dua siang. Lalu kualami bengkak di pipiku, dan mulutku tidak bisa kugerakkan. Hampir dua minggu sejak itu, aku hanya bisa minum pakai sedotan. Setiap hari aku membuat jus alpokat untuk asupan pencernaanku, juga secangkir teh hangat dan beberapa keping biskuit sebagai makanan utamaku.
Pagi ini, kulakukan yang sama, sarapan biskuit celup --- rasanya penderitaan seputar gigi yang sudah bertahun-tahun lalu, kembali hadir dalam ingatku. Kunikmati biskuit celupnya, nyam nyam nyam – srupuut hangat teh manisnya. Hidup, setiap hari selalu menyajikan warna yang berbeda.
Salam Kompasiana. |@IndriaSalim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H