Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Inspirasi dan Pahlawanku Selalu

22 Desember 2015   00:51 Diperbarui: 22 Desember 2015   09:37 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Hari ini, 22 Desember 2015, Ibunda menelpon. Begitu telpon saya angkat, kalimat pertama yang diucapkannya, “Oh senangnya mendengar suaramu. Aku kangen banget.”

Lalu Ibu memastikan kalau Natal ini saya akan merayakan bersama keluarga besar, di rumah masa kecil saya yang terasa semakin kecil. Meski begitu, rumah itu cukup membuat sibuk Ibu, karena ada taman kecil dengan tanaman yang menjadi tempatnya mengekspresikan kecintaannya pada tanaman dan pot bunga.

[caption caption="Ibunda berpose dengan sahabatnya -- inspirasi dan pahlawanku selalu |Dok. Indria Salim "][/caption]

Ibu punya selera artistik yang istimewa bagi saya. Dari musik sampai film, dari busana sampai buku. Ibu adalah pensiunan Kepala Sekolah di SD negeri di kota kelahiran saya, Solo. Sebagai wong Solo asli, Ibu pandai nembang, menulis dan mengarang berbahasa Jawa Kuno (Kawi), menulis huruf Jawa Ha Na Ca Ra Ka, dan menabuh gamelan --- dalam hal ini khususnya centhe dan bonang.

Sebagai seorang guru, dulu Ibu sering harus berkreasi untuk membuat murid-muridnya senang dan tertarik mengikuti pelajaran yang diajarkannya di kelas. Sesudah membereskan pekerjaan rumah sepulang mengajar, Ibu menyiapkan alat peraga untuk mengajar ilmu pengetahuan alam, misalnya.

Selain mengajar, mengurus pekerjaan rumah tangga, Ibu masih sempat memberikan les bagi muridnya yang sangat lambat memahami pelajaran sekolah dibanding dengan rata-rata murid di kelas pada umumnya. Les khusus ini sama sekali bukan untuk membuat seorang murid mendapatkan nilai bagus, apalagi mendapatkan ranking 3 besar di kelas --- sama sekali bukan. Ibu hanya tidak tega menolak permintaan orang tua murid yang sangat berharap anaknya yang maaf, agak lambat paham – bisa sedikit mengejar ketinggalannya di kelas.

Karenanya, memberi tambahan les itu Ibu lakukan dengan sepenuh hati, demi membantu anak agar tidak minder atau stress. Kuingat waktu itu murid lesnya hanya satu atau dua anak saja.

Ibu dan Ayah memang saling melengkapi dalam mendidik kami anak-anaknya. Bila Ibu suka membacakan kami cerita-cerita dari buku yang dibacanya, atau dongeng lucu atau semacam legenda lokal – maka Ayah mengajari kami hal lainnya termasuk bermain catur.

Ibu suka bernyanyi, dan bermusik juga. Ibu jago sekali main kulintang, padahal belajarnya belum lama dan itu bersama-sama dengan ibu-ibu yang berkegiatan di Kantor Kelurahan. Ibu selalu menjadi sasaran penunjukan teman-temannya. Ditunjuk jadi vokal, jadi dirigen paduan suara, memegang bagian melodi (bila itu kulintang), dan sering juga ditunjuk sebagai ketua panitia ini itu.

Kalau Ibu keberatan atau menolak, orang-orang pada mendesaknya dengan rayuan, “Jadi ketua itu enak. Tinggal tunjuk kami-kami ini, pencet tombol dan kami akan bekerja mendukung Ibu Ketua. Sudahlah, terima saja.”

Lha saya yang sekolahnya lebih lama dari Ibu, punya banyak kegiatan yang lebih seru – belum pernah tuh saya merasa mampu memegang peran sebagai pengemuka sebuah inisiatif. Anaknya kalah banget deh sama ibunya hehehe. Psst, bagian yang ini harusnya saya sensor atau hapus ya?

Ibu orang yang tegas dan sangat berdisiplin, apalagi soal mandi. Ini saya ungkapkan karena melihat anak-anak zaman sekarang kok kalau soal mandi harus diingatkan berkali-kali dulu.  Mungkin apa ini yang namanya perbedaan generasi, ya?

Saya belajar memasak dari Ibu. Dari sayur asem, berbagai macam sambel, sampai rendang dan kue-kue tradisional – seperti kue apem; kue pisang; kue bawang; klethikan kuping gajah; atau juga beragam seni memasak singkong dan ubi.

Waktu saya masih SMA dan mahasiswa, Ibu suka menceritakan bintang film dan penyanyi favoritnya. Kalau bintang film Indonesia, Ibu suka Mieke Wijaya, Nani Wijaya, Chitra Dewi dengan film “Tiga Dara”-nya; Bambang Irawan; Raden Mukhtar; dan Nurnaningsih – itu seingat saya. Bintang film favorit Ibu antara lain Ricky Nelson; Grace Kelly; Kirk Douglas; Clark Gable; dan Audrey Hephurn. Penyanyi kesukaannya antara lain  Pat Boon; Frank Sinatra; dan ah .. lupa siapa itu penyanyi wanitanya.

Oh ya, sebagai seorang pensiunan Ibu tetap banyak yang menyambangi. Ada beberapa tetangga di rumah lama yang suka curcol; kangen-kangenan; atau konsultasi ke Ibu. Ada juga teman-teman gereja yang rata-rata lebih muda Ibu; mengundangnya untuk menjadi sesepuh acara-acara khusus: siraman pengantin; dan semacamnya.

Suatu ketika di pagi hari, Ibu mendapat kabar duka cita tentang meninggalnya mantan kolega guru yang juga sahabat terdekatnya. Kabar itu disampaikan oleh anak temannya Ibu, yang meminta tolong Ibu untuk mengabarkan lebih lanjut ke mantan teman sesama guru. Begitu menutup telpon, Ibu tercenung agak lama. Adik saya yang memerhatikan keanehan wajah Ibu lalu bertanya, “Ada apa, Buk?”
Iki lho, Ibu Siti (bukan nama sebenarnya) seda (Jw.: Ini, lho Ibu Siti meninggal). Anaknya memintaku agar mengabarkan ke teman-teman lain. Aku bingung, teman-teman lain sudah pada meninggal lebih dulu.”

Jleb! Kejadian ini tak pernah kami lupakan. Kami mendadak kelu, dan sejujurnya ada sedikit kelucuan yang terekspresikan di wajah Ibu, padahal kami sebenarnya sangat terharu.

Ibu, seperti Natal selama puluhan tahun ini, kami anak-anakmu akan pulang dan memadati rumah kecilmu. Kami rindu nasi soto dan sop ayam masakan Ibu. Ibu jangan masak banyak-banyak, kami tidak ingin Ibu kecapekan. Lagipula, kami yang tinggal di Solo juga ingin melepaskan kangen makan cabuk rambak; nasi liwet di Manahan; atau nangkring makan sega bandeng kucing di warung hik ( = semacam angkringan buka malam) Pak Kemin.

“Kamu mau kubelikan daster batik?”
“Wah matur nuwun, dalem remen sanget,” jawab saya. (Wah terima kasih, saya senang sekali)
Yen tak tukokake Abon Varia gelem?” (Kalau kubelikan Abon bikinan toko Varia mau?)

“Ibu nggak usah repot-repot. Ibu ingin hadiah Natal apa?” saya balik bertanya.

“Hidupku penuh bonus. Mungkin itu karena hidupku untuk menunaikan tugas yang dulu diamanatkan Almarhum Bapak kalian. Aku hanya ingin kumpul dengan anak-anak dan para cucu,” jawab Ibu terkekeh riang.

“Selamat Hari Ibu, terima kasih telponnya. Semoga Ibu selalu sehat. Ibu sehat dan semangat ya,” ucapku dengan mata berkaca-kaca karena bahagia dan sejuta rasa tak terjelaskan.

*Tulisan ini adalah persembahan kecil buat Ibu saya yang kasih sayangnya tak lekang di makan zaman, tak lapuk dimakan waktu. Kasih sayang dan cinta ibu kepada anak-anaknya sungguh memotivasi kami selalu. Selamat Hari Ibu buat seluruh wanita yang punya anak, atau pernah menjadi anak.*

Salam Kompasiana! | Indria Salim – 22 Desember 2015

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun