Membaca beberapa tulisan terbaru dalam 24 jam ini, mendadak terbetik lamunan menggelitik di benak saya. Tulisan-tulisan yang menggugah rasa kepo, baik bermuatan pemikiran kritis maupun imajinasi detektif investigatif, membuat saya takjub, bingung, heran, dan nano-nano – ibarat permen jadul yang intinya menyajikan rasa manis, asem, pahit, asin, anyir, dan penguk rasanya.
Memanjakan lamunan mengembara, maka muncullah pertanyaan yang mengundang jawab tak bertepi. Pernah belajar atau membaca ‘teori’ tentang menulis meskipun hanya sedikit, saya mengenal gagasan berawal dari elemen 5W + 1 H, yaitu Who? What? When? Where? Why, dan How?
[caption caption="Belajar menulis non-fiksi | Foto: Indria Salim"][/caption]
Elemen 5W + 1 H itu berguna dalam mengembangkan gagasan menjadi tulisan lengkap, baik untuk cerita fiksi ataupun esai non-fiksi. Kelima elemen ini akan membentuk sebuah tulisan dahsyat, bila diramu dan diolah oleh ahlinya, dengan beberapa bumbu dan seni mengukir kata dan logika lainnya. Misalnya saja, seni mengolah fakta menjadi kisah fiksi, maka ceritanya akan berlabel, “Based on True Story”. Pembaca novel, cerpen, atau penonton film kadang rancu dengan label ini, karena dalam benak mereka, terbayangkan kisah nyata yang dipaparkan dalam sebuah paket padat nan lengkap yang memberi daya tarik luar biasa.
Sutradara terkenal Steven Soderbergh mengangkat sebuah kisah nyata ke dalam film peraih piala Oscar untuk kategori aktris utama, berjudul “Erin Brockovich” (produksi 2002), yang tokoh utamanya dibintangi oleh bintang kenamaan Hollywood, Julia Roberts. Saya beruntung menonton akting Julia Roberts, salah satu bintang favorit saya. Singkat kata, film ini memang dibuat berdasarkan kejadian nyata, tentang Erin Brokovich, orang tua tunggal beranak tiga, berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Hidup Erin berubah setelah dirinya tanpa sengaja mengalami hal yang membuatnya harus berurusan dengan kasus pelanggaran hukum berdampak pada kerusakan lingkungan dan efek kesehatan pada warga di wilayah tertentu. Erin tidak tahan untuk melakukan penyelidikan tentang kasus usaha properti yang menghasilkan limbah industri beracun di kawasan sekitar perusahaan properti tsb.: namanya Pacific Gas & Electric Company.
Itu salah satu contoh kisah nyata yang diangkat menjadi sebuah “cerita film”, dikembangkan dari sebuah sinopsis, lalu skenario, dan akhirnya bagaimanapun, masuk kategori “cerita hiburan”. Dalam hal ini, pemirsa pada umumnya cenderung menganggap sebagai “sebuah kisah nyata (non-fiksi)”. Mungkin karya seperti ini bisa kita jumpai dalam bentuk memoir, biografi, sejarah, atau antologi kisah nyata.
Bagaimana halnya dengan kisah fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata? Itu beda lagi. Hal termudah menulis cerita seperti ini, biasanya dengan cara menulisnya dengan memakai sudut pandang orang pertama tunggal (saya, aku, gue). Penulis melakukan eksplorasi dan bernarasi dengan tokoh utama: “saya”, “aku”, “gue”.
Menurut para pakar menulis (fiksi), ada kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan setiap sudut pandang penulisan fiksi. Nah, ini sudah khusus tentang menulis cerita fiksi.
[caption caption="Belajar menulis fiksi | Foto: Indria Salim"]
Bagaimana menulis di Kompasiana? Kalau Kompasianer menulis hasil liputan event, tentu menempatkan artikelnya di kanal yang sesuai. Sebaliknya, kalau Kompasianer membuat puisi, sajak, cerita pendek, dongeng, tentu kanal fiksi yang dituju.
Apakah kategori dan penempatan serta jenis (baca: isi) tulisan bisa dikenali sesederhana itu? Pembacalah yang sebaiknya menilainya. Di era transformasi rezim, juga saat suasana perpolitikan Indonesia dalam eskalasi persaingan memanas, kita bisa mengamati banyak karya Kompasianer yang secara konten adalah antara fiksi, non-fiksi, fiksi yang mengadopsi dan mengolah gagasan dari kejadian nyata, dan faksi (fakta yang dikemas seperti fiksi). Nah!