Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Artikel HL dan Saran Perbaikan

24 Mei 2015   00:08 Diperbarui: 14 Februari 2016   19:21 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini Penulis dedikasikan untuk memberikan umpan balik, dan saran baik kepada Kompasianer Yuliana Aghata, maupun Admin Kompasiana. Hal ini terkait artikel HL Kompasiana sore ini, berjudul "Menyikapi Budaya Narsis Tak Sehat di Medsos". Apresiasi Penulis kepada Kompasianer Yuliana, yang telah menayangkan karya buah pikiran yang inspiratif, autentik, aktual, dan sekaligus visioner atau berwawasan ke depan. Mencermati gaya tulisan Kompasianer Yuliana, entah kenapa Penulis teringat gaya tulisan Samuel Mulia dalam kolom "Parodi" di Kompas Minggu. Bravo!

Dalam artikel "Menyikapi Budaya Narsis Tak Sehat di Medsos" ini, banyak pesan yang layak kita renungkan, dan itu bukan saja menyangkut kepentingan pribadi namun juga kepentingan kita sebagai bagian dari masyarakat, bahkan masyarakat global. Ada dasar pemikiran yang runtut tersaji, selain juga ungkapan keprihatinan atas pentingnya pelestarian alam lingkungan bagi warga dunia, serta himbauan tentang belajar berempati terhadap lingkungan pergaulan atau sosial, misalnya dalam hal perilaku dan etika berekspresi di media sosial (medsos). Salut pada Admin Kompasiana yang telah menempatkan topik dan pesan penting gagasan tersebut menjadi artikel HL, sehingga lebih banyak pembaca akan mendapatkan manfaat dan inspirasi dari karya Kompasianer Yuliana.

Selama kita berkarya dan melakukan kegiatan, peribahasa "Tak ada gading yang tak retak" selalu berlaku umum, pun demikian ulasan yang Penulis siapkan kali ini untuk kita semua --- termasuk bagi Penulis sendiri. Sebelum lanjut, Penulis berharap bahwa apa yang dibahas di sini akan berkenan bagi siapa saja yang membacanya, khususnya Kompasianer Yuliana dan Admin Kompasiana. Dalam hal ini, Penulis berada dalam posisi sebagai pembelajar, sekaligus penikmat dan pelaku dunia tulis-menulis di Kompasiana. Sengaja hal ini Penulis garisbawahi, agar topik bahasan tidak melebar, memanjang, atau meninggi secara tidak relevan.

Saran buat Admin Kompasiana untuk Pemuatan Artikel HL Tinjauan tulisan berdasarkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sesuai aturan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Tanpa berpanjang kata, Penulis tampilkan contoh artikel HL yang sarat kesalahan teknis tata tulis, baik ditinjau dari aturan EYD, ataupun akurasi ejaan.

Dari foto berikut, langsung terlihat banyaknya kesalahan ketik, ejaan, dan penggunaan EYD yang perlu diperbaiki. *) Catatan:(Foto dokumen pribadi penulis dihapus Admin)

Memang, keunggulan media jurnalisme warga itu adalah tersedianya ruang berekspresi dengan  keragaman tulisan dalam banyak kategorinya, dari gaya bahasa, jenis karya (fiksi atau non fiksi), tidak diperlukan adanya pembatasan cara berekspresi, dan standar tata penulisan lain yang tentu berbeda dengan tuntutan bagi penulis jurnalistik 'resmi'.

Hanya saja, sebagai warga negara Indonesia yang baik, tentu kita akan setuju bahwa menulis dengan ejaan yang benar, bersih (salah ketik yang diminimalkan), akan membuat bahasa Indonesia semakin kuat dan dipandang sebagai salah satu bahasa paling berpengaruh di dunia. Kalau bukan dimulai dari diri sendiri, siapa lagi? Apakah kita lebih mengharapkan orang asing menggunakan bahasa Indonesia yang bagus, sementara kita sendiri malah tidak mampu menuangkan gagasan dalam bahasa nasional yang baik dan benar? Sekali lagi, ini tentang bahasa Indonesia, bukan "bahasa".*) Catatan:(Foto dihapus Admin)

Berturut-turut di bawah ini adalah tangkapan layar halaman yang sedang disunting. Kita semua bisa melakukannya, asalkan rajin membuka kamus, dan melihat pedoman EYD. Kata-kata atau ketikan yang disunting ini tidak selalu berarti dimaksudkan mengubah gaya bahasa menjadi gaya bahasa "resmi". Ada salah kaprah atau kerancuan pemahaman sebagian orang bahwa menulis sesuai EYD itu berarti menulis gaya bahasa resmi, kaku, tidak ngepop,"kurang terasa gaul", dan sebagainya. Kalau kurang yakin soal perlunya menulis dengan ejaan yang benar, coba kita simak ketentuan yang disyaratkan dalam berbagai lomba menulis --- cerpen remaja, cerpen horor, novel roman, novel humor dan lain-lainnya.

Coba misalnya, kalau yang dimaksud adalah "lombok", sedangkan yang terketik itu "nombok" --- nah, ini yang disebut salah ketik, dan ini belum menyangkut EYD. Soal kata depan dan "imbuhan" juga sering disalahpahami. "di" sebagai kata depan diketik terpisah dengan kata yang menunjukkan "tempat". Contoh: di muka, di kota, di Bandung. Sedangkan "di" sebagai imbuhan (awalan), mengetiknya disambung dengan kata dasar, contohnya: dimasak, ditulis, dipeluk. Semua ini sebenarnya soal kebiasaan, dan pembiasaan.

Bagaimana orang (Indonesia) akan bangga dengan bahasa pemersatu bangsa, kalau kita sendiri sebagai orang dewasa malas memberi perhatian dengan praktik langsung. Generasi penerus, perlu contoh dari para pendahulu mereka.

Sebenarnya, bahasa itu meskipun dinamis dan berkembang seiring perkembangan zaman, namun akar budaya yang tersirat di dalam bahasa itu sendiri perlu dilestarikan juga. Baiklah, Penulis batasi saja konteks penggunaan bahasa tulis ini, untuk membedakan dengan bahasa lisan yang lebih longgar aturan penggunaannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun