Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Uji Nyali? Ya Hidup di Jakarta

16 Juni 2013   21:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:55 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang yang bukan kelahiran asli Jakarta, saya menyatakan diri lulus ujian ketahanan mental di Ibukota Republik Indonesia ini. Berawal dari mengatasi kejutan budaya atau #culture shock skala kecil, yang kalau saya ingat-ingat konyol sekali. Saya dapat panggilan test wawancara dan tertulis untuk penerimaan karyawan di kantor multi nasional berlokasi di Jakarta Utara. Seorang sahabat berbaik hati memberi bantuan antar jemput dari rumahnya ke kantor dan sebaliknya. Waku itu hari Sabtu, yang menjadi hari mujur saya. Testnya sangat praktis, langsung diberitahukan hasilnya. Saya diterima dan harus masuk langsung pada hari Seninnya.

Dari tempat tumpangan di rumah sahabat, saya sudah diberi sedikit bekal informasi tentang bus dan angkutan yang harus saya gunakan ke kantor tsb. Saya menumpang di rumah sahabat, yang lokasinya di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Saya sama sekali nggak punya banyangan keparahan lalu lintas di Jakarta. Namanya juga orang yang jarang piknik.

Saya meninggalkan rumah pukul 6.15 wib. Lusinan bus dan Metromini warna oranye melewati tempat saya berdiri. Memang, saya harus pindah 2-3 kali untuk sampai ke kantor baru itu. Saya berdiri berjam-jam hanya karena menunggu bus dengan kursi kosong. Sampai tahu-tahu, jam menunjukkan pukul 7 wib.

Akhirnya saya naik bus, berdiri dan bergelantungan di antara desakan penumpang. Stress berat tentu. Karena nggak tahan, saya turun sebelum pemberhentian yang direncanakan. Saya tidak tahu cara mengambil bis sambungannya. Lalu saya panggil taksi. Saya nggak tahu tidak semua supir taksi jujur. Setelah sekian lama, kira-kira satu setengah jam, saya bertanya pada sopir, koq jauh sekali. Rupanya saya diputar-putarin oleh supir brengsek itu. Saya menelpon teman, dan akhirnya saya disarankan turun dan berganti dengan taksi yang lebih baik.

Saya baru sampai di kantor menjelang pukul 11 wib, padahal jam masuk karyawan itu pukul 8.30 wib. Waktu memasuki ruangan, semua karyawan menundukkan kepala nggak mau menatap saya. Saya dipanggil oleh Manajer Personalia dan dinyatakan tidak jadi direkrut, tapi diberi uang pesangon atau kompensasi sebesar setengah bulan gaji.

Tidak lama kemudian, saya mendapat pekerjaan baru yang ternyata memang yang sesuai cita-cita saya. Saya benar-benar menikmati pekerjaan itu, dan menambah banyak wawasan terkait pekerjaan yang mengharuskan saya berkomunikasi dengan banyak institusi di luar kantor, serta para relasi multi ras. Pengetahuan dan ketrampilan berbahasa asing saya berkembang pesat. Saya pikir, itu kemungkinan kecil terjadi kalau saya berpuas diri bekerja di kota kelahiran saya di daerah. Walaupun disebut sebagai #kota pariwisata dan #pusat kebudayaan Jawa, tapi kalau dibandingkan dengan Jakarta, tentu sangat jauh berbeda.

Ada sebuah pepatah, “Kebiasaan, lama-lama menjadi kebutuhan.” Ritme kehidupan di Jakarta, dengan jenis pekerjaan saya yang lumayan banyak tekanan dan menuntut semua serba cepat, berangsur-angsur mengubah kecenderungan saya menjadi orang yang ingin semua serba cepat. Prinsip “Alon-alon waton kelakon” sangat tidak cocok lagi buat saya.

Masyarakat di Jakarta sangat majemuk. Saya merasa dituntut agar memiliki daya adaptasi dan tingkat toleransi yang tinggi. Semua serba cepat, tak terduga, dan bernuansa multitasking. Interpersonal skills saya mau nggak mau terasah dan terus menerus diuji. Ini mencakup berbagai aspek, baik dalam konteks kehidupan pribadi, profesi maupun sosial. Pernah seorang teman bilang pada saya, “Hidup di Jakarta harus tahan banting, sigap, dan tidak gengsian.” Meskipun semua hal tidak bisa kita generalisasikan, termasuk perkataan teman tadi. Tidak semua berlaku seperti itu, tapi setidaknya hal itu saya rasakan juga.

Jakarta adalah kota besar, salah satu kota besar di dunia. Orang sibuk dengan urusan masing-masing. Di sini saya sebagai seorang perempuan mandiri, bisa menikmati bepergian sendirian, kalau perlu tanpa sungkan bisa menonton bioskop atau makan di restauran tanpa harus mencari teman. Itulah uniknya Jakarta. Yang penting, kita punya pedoman hidup yang positip dalam arti luas dan mendasar.

Jakarta, membuka kesempatan seluasnya untuk saya mengembangkan karier dan hal penting lainnya dalam hidup saya. Jakarta dengan manis dan pahitnya kehidupan warga dan pendatang yang berjuang, bertahan dan meraih cita-cita. Di Jakarta saya menjadi diri sendiri. I love and hate Jakarta at the same time, for the reason it is best left unsaid. Begitulah seru dan asyiknya #hidupdijakarta

Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun