"Change is never a matter of ability; it's always a matter of motivation."
(Anthony Robbins, motivator)
Suatu saat, saya dapat panggilan test wawancara di sebuah organisasi regional di kawasan ASEAN. Saya kaget, karena saya lupa kalau pernah mengirim surat lamaran kerja ke organisasi tersebut. Meskipun begitu, saya senang karena bekerja di sebuah organisasi LSM kedengarannya keren. Waktu itu saya bekerja di sebuah lembaga pendidikan non-formal, dan saya menjadi pengajar paruh waktu, sekaligus bagian dari staff manajemen (Direksi). Kebetulan, saya merasa itu 'hanya' pekerjaan sela, sambil menunggu peluang bisa bekerja di lembaga resmi dengan cakupan bidang tugas yang lebih luas.
Nah, singkat cerita saya lulus test di kantor LSM regional itu. Saya sangat senang karena saya berhasil melewati tahapan test dan bersaing dengan sesama peserta yang tampak berlatar belakang pendidikan dan berpenampilan keren. Kesan ini saya tangkap dari tumpukan buku-buku tebal berbahasa asing yang ditenteng peserta, dan obrolan mereka di lobby kantor itu, menjelang test diadakan.
Ada puluhan peserta test yang sudah melewati seleksi pemanggilan, dan hanya ada satu posisi. Zaman sekarang malah lebih parah pastinya, satu posisi menjadi rebutan ratusan atau ribuan orang.
Begitu surat pemberitahuan kapan saya harus mulai ngantor itu datang, saya malah gugup dan mendadak tidak percaya diri. Banyak kekhawatiran berkecamuk di benak. Terbayang kesulitan terkait transportasinya, mengingat lokasi kantor yang sangat jauh dari tempat tinggal, bagaimana dengan busananya - mengingat isi lemari yang minim pakaian kantoran yang keren, lalu bagaimana dengan suasana pergaulan antar pegawainya, dan sebagainya. Dan yang utama dan terutama adalah apakah saya akan mampu memahami dan menjalankan tugas sesuai posisi itu, karena sejujurnya itu hal yang sama sekali baru bagi saya. Belum lagi kecemasan tentang tuntutan pekerjaan yang memerlukan saya harus berhadapan dengan banyak orang secara langsung, baik tertulis maupun tatap muka.
Saya bukanlah orang yang cuek, atau suka tampil di depan. Kalau disuruh memilih, saya lebih baik berada di belakang layar, atau di pojok ruang, bekerja sendirian dan menikmati ketenangan dan kenyamanan berkonsentrasi total. Itu bayangan 'dream job' yang ada ketika itu.
Memang, sebagai pengajar & staff Direksi saya tampil juga, namun dalam hal pekerjaan baru itu, saya tahu sangat berbeda sifatnya. Sebagai pengajar, ada sedikit 'otoritas' yang saya miliki dan itu cukup mengurangi kegamangan tampil di depan orang banyak. Itu saja.
Agar siap pindah pekerjaan tanpa banyak cemas, saya menemui seorang sahabat lama yang juga teman se-alumni di kampus, panggil saja namanya Carla. Carla sangat mengenal saya, karenanya dia ikut senang mengetahui kalau saya mendapat pekerjaan yang lebih 'serius' karena menurutnya, hal itu akan membuka cakrawala pengalaman yang lebih luas lagi.
Satu ungkapan Carla mencambuk dan membesarkan hati saya untuk maju dan memulai pekerjaan baru dengan percaya diri, "Fokus dan lakukan yang terbaik untuk tugasmu, maka dengan sendirinya kau akan mampu menempati posisimu."
Sejak itu saya tidak pernah melupakan 'kalimat sakti' itu. Sampai sekarang saya berterima kasih kepada Carla, karena ungkapan bijaknya yang sederhana menjadi tips manjur, dan berlaku untuk banyak hal dalam kehidupan saya. ~ @IndriaSalim
Salam Kompasiana!
Baca juga:
Fakta & Rahasia Saya tentang Buku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H