Persimpangan jalan ini tidak asing. Dinda pernah beberapa kali berada di tengah-tengahnya.
Meski dengan peta atau intuisi saja, meski berdarah-darah atau hanya seringai parau yang tersemat.
Tetap saja, Dinda penasaran.
Kaki tidak lagi gemetar karena pohon beringin yang gahar di tepi jalan. Tidak seperti dulu saat pertama ada disini.
Mulut Dinda mencoba memantrai pojok-pojok jalan di persimpangan. Harap-harap cemas semoga ruh penasaran tidak mengikutinya hingga kubur.
Kapak ditangan Dinda sudah siap sejak dua jam lalu. Tepat sebelum sampai di persimpangan kacau itu. "Saatnya mencium bau surga", "..dan mengintip sedikit isi neraka", seringai Dinda yang rambut hitam kemerahannya lepek basah keringat. Bau anyir.
Ular-ular tahu. Pohon beringin tahu. Angin berhenti sejenak, melihat kapak Dinda menebas lima jiwa pada salah satu persimpangan itu. Angin kembali berhembus lembut, mensyairkan kepedihan, membawa air mata, memekikkan nama Tuhan dan Rasul-Nya, mengeringkan darah yang terlanjur membasahi tanah.
Dinda kembali menyeringai puas, menciumi jiwa yang terkapar nista "Kalian selalu milikku, jangan bilang tidak lagi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H