Mohon tunggu...
Indriani Vicky Kartikasari
Indriani Vicky Kartikasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga Semester Kedua

Mengikuti forum diskusi adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Bertemu dengan orang lain, bertukar pikiran, dan mengeksplor berbagai pengalaman baru adalah hal yang seyogyanya diwujudkan, khususnya bagi saya yang berdisiplin ilmu hukum. Selain itu, saya juga fokus mengembangkan diri di bidang kepenulisan guna mengasah kemampuan berargumen.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pilar 16 SDGs: Relevansi HAM dan Hukum Nasional Menghadapi Isu LGBT dalam Mewujudkan Pembangunan Hukum Berkelanjutan

23 Juni 2022   11:05 Diperbarui: 23 Juni 2022   19:00 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini sedang marak isu menormalisasikan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia. Bahkan beberapa pekan lalu muncul tranding hastag di media sosial yaitu seorang youtuber dengan jumlah subscribers yang cukup besar mengundang pasangan gay di dalam podcastnya. 

Hal ini tentu menjadi polemik dalam masyarakat karena dianggap dapat menggiring asumsi dan memunculkan paradigma akan normalisasi LGBT. Lantas apakah hal tersebut bertentangan dengan HAM dan bagaimana hukum di Indonesia mengaturnya? Apakah adanya LGBT dapat mempengaruhi tercapainya tujuan bangsa kita?

Berdasarkan survey CIA pada 2015 silam yang dilansir dari topikmalaysia.com menyatakan bahwa populasi LGBT di Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah China, India, Eropa dan Amerika. Tak hanya itu, survey independen pun menyatakan bahwa 3% atau 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia merupakan LGBT. 

Pilar ke-16 SDGs terkait tujuan pembangunan berkelanjutan Negara Indonesia ialah untuk menciptakan perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Tujuan dalam pilar ini demi menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan. 

Dalam mewujudkan tujuan tersebut tentu diperlukan adanya produk hukum berupa peraturan. Relevansi antara HAM dan hukum nasional dengan LGBT sendiri dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam UUD NRI 1945 terdapat beberapa pengaturan tentang HAM. 

Dijelaskan dalam Pasal 28I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.  

Lebih lanjut dijelaskan Pasal 28J ayat (1) bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Apakah dengan tidak menormalisasi LGBT dapat dianggap pelanggaran HAM dan diskriminasi? Maka merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 

Pasal 70 pengaturan ini juga menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk atas pembatasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang demi menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

Dari sudut pandang HAM sendiri, HAM pada umumnya berprinsip universality. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama, di mana pun mereka tinggal, jenis kelamin, ras, agama, latar belakang budaya, dan etnis mereka. 

Namun, seiring dengan perkembangan zaman muncul pemikiran apakah prinsip universal itu mengartikan HAM tidak ada batasnya? Beberapa negara khususnya negara-negara Timur menganut prinsip partikular HAM (cultur relative), nilai hak asasi manusia dapat timbul dari nilai luhur suatu bangsa, artinya hal-hal yang bertentangan dengan budaya dan kebiasaan masyarakatnya dapat ditolak. 

Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi, sumber dari segala sumber hukum, landasan, dan pandangan hidup bangsa dalam sila pertama berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa", maka segala perbuatan yang kontradiksi dengan sila pertama harus disaring dan tidak selayaknya dinormalisasikan. 

LGBT tentu bertentangan dengan sila pertama sebagaimana kodratnya manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan. Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan budaya sopan, santun, dan beradabnya.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam ayat 1 mendeskripsikan mengenai apa itu perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin yang timbul antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Maka jelas sudah bahwa hukum nasional hanya mengakui dua gender saja, yakni pria dan wanita. Berdasarkan peraturan tersebut juga mengartikan bahwa perilaku seksual diwadahi dalam perkawinan yang merupakan "ikatan lahir batin" demi membentuk keluarga berdasarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Klausul ini mengandung arti penting sebab tidak hanya dibuat untuk catatan sipil semata, melainkan melahirkan sebuah tatanan kemasyarakatan demi mewujudkan generasi-generasi masa depan.

Normalisasi LGBT akan mempengaruhi terbentunya karakter para grenerasi penerus bangsa yang berperan sebagai aktor utama dalam mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD NRI 1945, khususnya dalam mewujudkan perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. 

Perlu adanya upaya pemahaman mengenai apa itu arti keadilan yang sesungguhnya. Bahwa keadilan adalah ketika kita mampu memberikan sesuatu sesuai proporsionalitasnya dan menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Normalisasi LGBT yang berlindung dibalik hak asasi manusia bukanlah hal yang dibenarkan sebagai implementasi makna dari suatu keadilan.

 Maka dalam menghadapi permasalahan ini, pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus mampu memberikan solusi terbaik. LGBT bertentangan dengan agama maupun budaya yang hidup dan berkembang di Indonesia. 

Akan tetapi, eksistensi martabat mereka sebagai manusia tetap harus dihormati dan dilindungi. Perlu ditegaskan kembali bahwa LGBT tak layak untuk dinormalisasikan di Indonesia, namun tidak pula menjadi alasan adanya diskrimasi maupun kekerasan bagi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun