Mohon tunggu...
Indria
Indria Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang ketik

Sama seperti orang kebanyakan. menulis karena ingin berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pusingnya KSAU, Penerbangnya Mati Konyol Karena Pesawat Tua

4 Juli 2015   12:32 Diperbarui: 4 Juli 2015   12:32 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  [caption caption="hercules sumber google"][/caption] 

Wajah Marsekal Madya TNI Agus Supriatna tidak seriang biasanya.  Bukan karena batalnya promosi jadi Panglima TNI, tapi kecelakaan pesawat angkut militer Hercules C-130 TNI AU yang jatuh di Jalan Letjen Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara, Selasa 30 Juni 2015, pukul 11.48 WIB, sedikit banyaknya mengganggu pikirannya.

    Setidaknya 122 korban tewas akibat kecelakaan yang terjadi di pertengahan bulan suci Ramadan tersebut. Di dalam pesawat tersebut, terdapat 12 prajurit TNI AU yang terdiri dari tiga penerbang, satu navigator dan delapan teknisi. Terlepas dari prokontra adanya korban sipil, kecelakaan pesawat yang berusia 51 tahun tersebut merenggut putra-putri terbaik bangsa. Mereka mati konyol, bukan karena bertempur mempertahankan bangsa, tapi mati konyol karena buruknya peralatan tempur yang dimiliki. Aset yang dimiliki TNI AU pergi sekejap mata.

Awak pesawat naas  tersebut yakni

1.  Pilot Kapten Sandy
2.  Kopilot Lettu Pandu
3.  Kopilot Letda Dian Sukma Pasaribu
4. Kapten Riri (navigator)

Teknisi :

1. Serma Bambang
2. Peltu Ibnu
3. Peltu Andik
4. Pelda Parijo
5. Peltu Ngateman
6. Peltu Yaya Komari
7. Pelda Agus Pur
8. Prada Alvian

Pilot pesawat naas tersebut, Kapten Sandy Permana, merupakan siswa terbaik di Sekolah Komando Kesatuan Angkatan Udara Angkatan 97. Sandy pun memiliki jabatan Ketua Senat Pasis Sekkau Angkatan 97. Mencetak seorang kapten bukan hal yang mudah, selain memakan waktu lama, para kapten merupakan lulusan terbaik yang tentunya memiliki kecerdasan mumpuni.

Sandy merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara 2005. Siswa terbaik di angkatannya dan membukukan jam terbang sebagai pilot sebanyak 2.000 jam. Penerbang Skuadron Udara 32 Lanud Abdul Rachman Saleh, lulus sebagai kapten pilot setahun lalu

Mantan Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari mengatakan mendidik seorang kapten memerlukan biaya yang tidak sedikit. Setidaknya membutuhkan biaya miliaran untuk mencetak seorang seperti Kapten Sandy Permana.  Sebagian besar kapten diambil dari sepuluh terbaik dan dididik kurang lebih tiga tahun.

Kopilot pesawat Hercules C-130, Letda Dian Sukma Pasaribu, merupakan salah satu lulusan terbaik pendidikan penerbangan di Solo 2013. Dian kemudian diambil oleh AU untuk menjadi pilot pesawat tempur. Jago Bahasa Inggris dan idola SMA di Palembang. Semenjak jadi penerbang, Dian jarang pulang. Cuma sesekali bertemu dengan keluarga.

Meski TNI membantah, kalau penyebab utama kecelakaan pesawat itu bukan karena faktor usia, namun pada kenyataannya tak cukup waktu untuk pemeliharaan pesawat tersebut. Idealnya membutuhkan waktu setengah hingga setahun. Dari 13 Hercules yang berfungsi hanya empat. Itu pun menggunakan sistem kanibalisme. Kalau ada suku cadang yang diganti, ambil dari pesawat lain.  Kebutuhan pesawat kargo tersebut sangat tinggi, jumlah pesawat sedikit, masa pemeliharaan sempit.

Fakta di lapangan, berdasarkan temuan yang ikut dalam investigasi, menyebutkan satu dari empat mesin di pesawat itu mati atau tidak berfungsi sebelum akhirnya jatuh terbalik menimpa rumah spa. Pesawat tua beda kondisi dengan mobil tua. Mobil tua kalau rusak, paling mogok di jalan. Tapi kalau pesawat mogok di udara, habislah.

Hercules C-130 merupakan pesawat terbang bermesin empat turboprop dengan sayap tinggi (high wing), dioperasikan oleh 4-6 awak (2 pilot, 1 loadmaster, 1 teknisi). Pesawat ini juga memiliki kapasitas muatan mencapai 33.000 kilogram. Berat maksimum saat lepas landas adalah 70.300 kilo gram.

Saya sendiri memahami, mengapa TNI AU keukeuh bilang kalau penyebab kecelakaan bukan karena pesawat tua. Sampai kiamat pun, TNI tak akan berucap hal itu. Itu sama saja, menunjukkan lemahnya pertahanan udara kita karena peralatan tempur yang dimiliki sudah uzur.

Masih ingat, dengan coba-coba pesawat militer Malaysia yang sembilan kali memasuki dan melanggar wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, Blok Ambalat, pertengahan Juni lalu. Belum lagi kisah pesawat sipil yang seenaknya masuk ke wilayah Indonesia, pesawat tempur AS yang coba-coba memasuki wilayah kita. Itu baru yang tertangkap radar, yang enggak ketangkap. tahu deh.

Pemerintah harus mengkaji kembali kebijakan hibah pesawat militer.  Peremajaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) merupakan sesuatu yang tak bisa ditunda lagi. Kita tak ingin para penerbang kita mati konyol hanya karena peralatan yang sudah uzur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun