Sebagian dari kita mungkin telah lupa musibah G30S (Gempa 30 September) Sumbar 2009 Silam. Yah, Gempa yang berkekuatan 7,6 SR yang belakangan diralat jadi 7,9 SR, sukses memporak-porandakan beberapa daerah di Sumatera Barat. Tak terhitung berapa kerugian yang disebabkan oleh gempa yang berpusat di Pariaman tersebut. Tapi tidak demikian halnya dengan warga Padang, Pariaman dan Agam yang menjadi saksi sejarah kebesaran Allah itu. Yah….bagiku itu adalah sejarah, dan hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi saksi sejarah. Hanya orang-orang terpilih yang diberi kesempatan tuk menyaksikan dan merasakan langsung betapa besar kuasa-NYA.
Masih teringat jelas dalam ingatan, betapa paniknya warga di kota Padang saat musibah itu terjadi.Teriakan histeris di mana-mana, tangisan pilu anak-anak kecil juga perempuan, pekikan takbir dari orang-orang yang masih sempat ingat Tuhan, bunyi klakson kendaraan yang bersahut-sahutan,suara gaduh bangunan-bangunan yang ambruk. Orang-orang berlarian tak tentu arah, macet di mana-mana, pepohonan di tepi jalan tumbang, ada beberapa rumah yang terbakar karena arus pendek juga lupa mematikan kompor saking paniknya , di tambah lagi isu tsunami yang berkembang dengan cepat semakin membuat panik warga. Bukan tanpa alasan isu tsunami itu beredar, dalam hitungan detik, air sudah menggenangi ruas-ruas jalan. Arahnya memang sepintas dari arah pantai. Kota Padang memang berada di daerah garis pantai sebelah barat yang berbatasan dengan Samudra Hindia ….akhhhhh….sungguh pemandangan yang sangat memilukan. Dan aku menjadi salah satu di antara mereka.
Sore itu, kira-kira pukul 5 sore, pulang dari kantor. Berjalan kaki ke kos-kosan (kebetulan jarak kantor dan kosanku lumayan dekat) sambil menelpon kakakku yang berada jauh di seberang pulau sana. Tiba di kosan (kamarku di lantai 2), masih asyik berbicara di telpon dengan kakak, tiba-tiba terdengar bunyi “…srrrrrsrrggggrrsssrrrrrrr...” disertai getaran. Awalnya nyantai saja, soalnya hal ini sudah biasa terjadi. Beberapa hari ini memang frekuensi gempa semakin meningkat. Getarannya juga sepertinya sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Sempat bilang ke kakakku, “kak…di sini gempa lagi”. Tapi sungguh tak dinyana, getaran yang sebelumnya kecil tiba-tiba besar dan semakin besar. Dinding-dinding kosanku mulai berjatuhan. Anak-anak dikosan langsung panik, berlomba untuk menyelamatkan diri, turun dari tangga yang sudah hampir rubuh. Kakakku di ujung sana juga mulai panik, bertanya “kenapa….kenapa….ada apa dik….” dalam keadaan menangis sambil berlari aku hanya bisa berkata…”kakak….gempa….kakak…gempa….kakak….saya takut” dan telpon pun terputus……..tak ada signal lagi.
Pernah lihat beras yang sedang di tampi? Digoyang kanan kiri, seperti itulah kira-kira kondisi waktu itu. Aku sempat berfikir, hari itu sudah kiamat. Gambaran Allah tentang hari itu terngiang-ngiang di kepalaku, “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya , dan manusia bertanya: ‘Mengapa bumi (jadi begini)?’. Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. (Al Zalzalah 1-5)” Tak henti-hentinya aku menangis, terserah jika kalian berfikir betapa cengengnya aku, bukan karena gempanya, tapi karena ketakutanku pada maut. Ada ketakutan yang luar biasa jika hari itu nyawaku direnggut. Ada ketakutan yang luar biasa jika hari itu adalah akhir dari hidupku, sementara bekalku masih sangat jauh dari yang namanya cukup. Terlebih lagi bekal untuk orang tuaku. Di sela-sela tangis, hanya bisa berucap lirih…”Astagfirullah Al’adzim… Astagfirullah Al’adzim… Astagfirullah Al’adzim...Allahu Akbar…Asyhadu Allah Ilaha Illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah….Allahu akbar…”
Dan…….. hingga detik ini, getaran itu masih sering terjadi……
To be continued
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H