Selamat datang kembali para pembaca artikel saya yang saya sayangi, sudah siapkah kalian membaca karya saya yang belum seberapa ini? Karena kali ini saya akan membahas mengenai identitas nasional, yang berarti saya akan menuliskan tentang keunikan yang dimiliki negara kita tercinta ini.
Tiap negara memiliki identitas nasional masing-masing, nah yang dimaksud identitas disini adalah ciri khas, keunikan, maupun karakter bangsa yang hal tersebut membedakannya dengan negara lain. Seperti manusia, kita memiliki indentitas pribadi yang tentunya identitas kita adalah hal yang hanya dimiliki oleh kita sendiri, dan identitas inilah yang membedakan kita dengan orang lain.
Adapun identitas nasional yang kita semua tahu dimiliki Indonesia adalah bendera merah putih, bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, lambang Garuda Pancasila, dan berbagai macam kebudayaan daerah. Nah, di artikel ini saya akan fokus kepada salah satu identitas nasional yang tidak dimiliki oleh negara lain yaitu kebudayaan yang dimiliki daerah Blitar karena membahas poin-poin seperti lagu kebangsaan atau bendera klise dan sudah banyak di internet.
Jadi di Blitar terdapat suatu tradisi tahunan turun-temurun yaitu memandikan sebuah gong besar yang dinamakan Siraman Gong Kyai Pradah, Gong Mbah Pradah kalau daerah saya menyebutnya. Siraman ini dilakukan di daerah Sutojayan, Lodoyo dan sudah menjadi tontonan masyarakat dalam dan luar Blitar tiap tahunnya.Â
Sebagai bupati, Bapak Rijanto dan wakilnya Marhaenis mendukung dan berupaya melestarikan kegiatan ini, karena sebagai wujud melestarikan budaya leluhur serta sebagai peluang mencari rezeki juga bagi masyarakat sekitar.
Siraman ini dilakukan tiap penanggalan Maulud Nabi yaitu pada 12 Rabiul Awal dan 1 Syawal, dan air siraman gong tersebut banyak yang mempercayai dapat menyembuhkan penyakit.
Ada banyak cerita dan latar belakang bagaimana gong tersebut dapat muncul serta awal mula tradisi siramannya, namun akan dituliskan disini versi yang singkat. Menurut cerita pada saat penobatan tahta Kerajaan Kartasura Sri Susuhunan Pakubuwono I, beliau mempunyai saudara dari selir ayahnya yang bernama Pangeran Prabu.Â
Ketika Sri Susuhunan Pabubuwono I dinobatkan sebagai raja, Pangeran Prabu merasa sakit hati dan ia berniat membunuh Sri Susuhunan Pabubuwono I, namun upayanya ketahuan, jadi sebagai hukuman atas kesalahannya tersebut Pangeran Prabu ditugasi menebang kayu di hutan Lodoyo.Â
Masa itu hutan Lodoyo dikenal sangat wingit (angker) dan dihuni oleh banyak binatang buas. Karena Pangeran Prabu merasa bahwa dirinya bersalah, jadi untuk menebus kesalahannya beliau berangkat ke hutan Lodoyo tersebut dan diikuti oleh istrinya Putri Wandansari dan abdinya Ki Amat Tariman dengan membawa pusaka bendhe yang diberi nama Kyai Bicak, yang akan digunakan sebagai penolak bala di hutan Lodoyo.Â
Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya tibalah mereka di kawasan Lodoyo yang masih merupakan hutan belantara sangat angker. Pengembaraan jauh itu mereka lakukan dengan penuh ketabahan, karena mereka percaya tidak akan menghadapi marabahaya selama mereka membawa pusaka bendhe Kyai Bicak.
Sementara untuk menenangkan hati, Pangeran Prabu melakukan nepi (menyendiri) di hutan Lodoyo, bendhe Kyai Bicak dan abdi setianya Ki Amat Tariman dititipkan kepada Nyi Rondho Patrasuta, beliau meninggalkan pesan bahwa setiap tanggal 12 Mulud dan tanggal 1 Syawal supaya bendhe tersebut disucikan dengan cara disirami air bunga setaman dan air bekas jamasan tersebut bisa untuk mengobati orang sakit dan sebagai sarana ketentraman hidup.