Bangsa Indonesia mempunyai tujuan nasional untuk menggapai tatanan masyarakat adil  dan makmur yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Mewujudkan semua itu tentunya tidak dapat diperoleh dengan  mudah, dibutuhkan perjuangan, kerja keras, pengorbanan dan semangat pantang menyerah dari segenap komponen bangsa.Â
Komitmen menghadirkan keamanan dalam ruanglingkup kebangsaan sebagaimana yang telah diciptakan oleh Founding Father bangsa Indonesia, hanya dapat dilalui melalui penempatan pilar-pilar persatuan, kerterpaduan, kerjasama, hubungan yang  terkoordinasi antara semua komponen bangsa, baik  itu  kelompok masyarakat sipil maupun kalangan militer.
Melihat catatan historisnya supremasi militer dan sipil mempunyai peran yang cukup vital dalam perkembangan bangsa Indonesia, hal ini dapat dilihat melalui beberapa agenda yang melibatkan kedua unsur ini sebagai catatan persitiwa besar, seperti agresi militer II pada tahun 1948 dimana pada saat itu Soekarno meminta kepada Jendral Soedirman untuk menyerah kepada Belanda sebagai bentuk dari bagian diplomasi namun ditolak dengan dibarengi oleh tindakan diluar kendali pemerintahan sipil yakni perang geriliya.Â
Kemudian konflik horizontal antara sipil dan militer dalam merawat keutuhan bangsa kembali mencuat pada contoh lain, yakni pada tahun 1999 lepasnya Timor Leste dari bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana pihak militer mempunyai perspektif bahwa pemerintahan yang dijalankan oleh masyarakat sipil tidak mampu menjaga keutuhan negara.
Sejatinya konflik yang melibatkan konseptual hubungan antara sipil dan militer diranah demokrasi secara jelas terjadi pada masa reformasi tahun 1998 dimana pada waktu itu dominasi Angkatan Bersenjata Militer Indonesia dinonaktifkan karena militer mempunyai dwifungsi yang dianggap mendominasi masyarakat sipil sehingga menciderai demokrasi yang ada di Indonesia.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan harapan yang ada pada hubungan militer sipil pada keamanan demokrasi sebagaimana pandangan Samuel P. Huntington (2000) bahwa Hubungan Sipil Militer (Civil-Military Relations) adalah kontrol sipil (Civilian Control) harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan relatif sipil  terhadap militer yang merupakan  bentuk pengendalian, baik  subjektif  maupun objektif sipil, pada bagian lain Huntington (1981) menambahkan bahwa kontrol sipil dibagi menjadi tiga  pola:  kontrol sipil oleh lembaga pemerintah, kontrol sipil oleh kelas sosial, dan kontrol sipil secara konstitusional.Â
Meskipun dwifungsi ABRI telah dihapuskan, namun seiring berjalannya roda demokrasi yang ada di Indonesia isu-isu mengenai kebangkitan Dwifungsi ABRI terus digulirkan. Buku Hubungan Sipil Dan Militer Dalam Diskursus RUU Keamanan Nasional karya Dr. Yusa Djunaidi memberikan penawaran berupa analisis terhadap  konsep hubungan sipil dan militer dalam perspektif negara demokrasi.
Hubungan sipil dan militer dalam perspektif negara demokrasi karya Dr. Yusa Djuyandi merupakan buku yang diharapkan mampu mewujudkan iklim yang baik berupa adanya sinergitas tinggi serta harmonis pada tataran pemerintah baik itu dari kalangan militer maupun masyarakat sipil. Sehingga dalam buku ini, penulis mengajak para pembacanya untuk dapat menganalisis secara komprehensif bagaimana dampak dan kontruktivisme yang akan dibangun melalui catatan historis perkembangan hubungan antara sipil dan militer dalam ruanglingkup keamanan demokrasi.
Indonesia sebagai salahsatu negara yang mengusung semangat demokrasi, tentu sejak digulirkannya perang dunia kedua dan pasca keberadaan dua kuasa pada perang dingin, menimbulkan konsesus keamanan demokrasi yang tidak tradisional sehinnga permasalahan akan pertemuan antara demokrasi dengan keamanan akan menuntut lahirnya human securrity yang mengedepankan pola hubungan sipil-militer yang dominan pemberian hak pada sipil untuk melakukan pengawasan kepada pihak militer.Â
Prihatono dkk (dalam Yusa Djuyandi, 2019) menyatakan bahwa hubungan sipil militer juga merupakan sebuah wacana dalam konteks demokratisasi. Pridahantono juga menguraikan bahwa hubungan sipil dan militer merupakan sebuah fenomena yang berada dalam tataran hubungan politik. Permasalahan yang timbul dari fenomena ini adalahsupremasi berlebih kepada pihak sipil terhadap kalangan militer
Guna menetralisir pemahaman konseptual hubungan antara sipil dan militer yang dinilai sensitif, terutama pada negara-negara yang dinilai sedang menjalani fase awal demokrasi seperti Indonesia.Â
Kontrol terhadap pihak sipil pasca reformasi perlu dilakukan agar sistem keamanan demokrasi tetap berjalan dengan baik, maka Prihatono dkk (dalam Yusa Djuyandi, 2019) menyebutkan upremasi sipil harus ada perwakilan yang dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis dan ada akuntabilitas politiknya, serta harus ada pula aturan hukum yang wajib dijunjung tinggi oleh semua stakeholder. Kemudian pendapat ini dipertegas oleh Kohn (dalam Yusa Djuyandi, 2019) sebagai bentuk kepatuhan dan ketundukan militer pada pemerintahan yang dipilih dan ditunjuk secara demokratis melalui Pemilu atau yang sering dimaknai sebagai supremasi sipil
Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan Dr. Yusa Djuyandi menyatakan bahwa ada sebuah titik temu atau pertemuan antara konsep demokrasi dengan keamanan dan hubungan sipil-militer, yaitu bahwa demokrasi menuntut adanya keamanan manusia dari berbagai macam ancaman dan tekanan, disamping itu jalannya sistem politik demokrasi juga menuntun pada adanya pola baru hubungan sipil-militer yang mendorong pada terwujudnya pengawasan atau kontrol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H