Guna menetralisir pemahaman konseptual hubungan antara sipil dan militer yang dinilai sensitif, terutama pada negara-negara yang dinilai sedang menjalani fase awal demokrasi seperti Indonesia.Â
Kontrol terhadap pihak sipil pasca reformasi perlu dilakukan agar sistem keamanan demokrasi tetap berjalan dengan baik, maka Prihatono dkk (dalam Yusa Djuyandi, 2019) menyebutkan upremasi sipil harus ada perwakilan yang dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis dan ada akuntabilitas politiknya, serta harus ada pula aturan hukum yang wajib dijunjung tinggi oleh semua stakeholder. Kemudian pendapat ini dipertegas oleh Kohn (dalam Yusa Djuyandi, 2019) sebagai bentuk kepatuhan dan ketundukan militer pada pemerintahan yang dipilih dan ditunjuk secara demokratis melalui Pemilu atau yang sering dimaknai sebagai supremasi sipil
Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan Dr. Yusa Djuyandi menyatakan bahwa ada sebuah titik temu atau pertemuan antara konsep demokrasi dengan keamanan dan hubungan sipil-militer, yaitu bahwa demokrasi menuntut adanya keamanan manusia dari berbagai macam ancaman dan tekanan, disamping itu jalannya sistem politik demokrasi juga menuntun pada adanya pola baru hubungan sipil-militer yang mendorong pada terwujudnya pengawasan atau kontrol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H