Kacamata yang umum sehari-hari kita kenal sebagai alat bantu penglihatan ternyata merupakan satu dari lima penemuan terbesar sepanjang sejarah umat manusia.
Tahukah kamu?Dimulai dari kisah Nero seorang Kaisar dari Romawi abad ke-I masehi yang konon ketika menonton gladiator dari tribun menggunakan batu zamrud hingga lukisan karya Tommaso da Modena dari abad ke-XIV yang menggambarkan seorang Kardinal sedang menulis dan membaca dengan menggunakan kacamata.Â
Ternyata didunia lensa kacamata pun para produsen dari berbagai brand raksasa tidak mau kalah dengan terus berlomba untuk menciptakan lensa dimana teknologinya terus saja berkembang dengan berbagai inovasi dan teknologi yang dikembangkan.
Dahulu kacamata dibuat hanya sesederhana bagaimana lensa yang digosok bisa membantu penglihatan pemakainya dapat dengan jelas melihat jauh ataupun membantu ketika membaca tulisan di buku, namun sekarang didalam teknologi desain dan penggosokan lensa sudah mulai memasukan unsur neuroscience dalam pembuatannya.
 Hal ini tentunya berhubungan dengan tantangan penglihatan yang semakin kompleks di era modern ini, dimana penglihatan yang dinamis dengan penggunaan berbagai gadget dan smartphone ikut merubah kebiasaan penglihatan umat manusia lebih dari kebiasaan penglihatan manusia di zaman sebelumnya. Karena fisiologi penglihatan manusia sejatinya terjadi di otak, sedangkan mata ibaratnya hanyalah kamera.
Uniknya isu dan kesadaran tentang position of wear dan compensated power pada penggosokan lensa ini di dunia optik di Indonesia sendiri pun terlihat masih kurang, fenomena ini entah disebabkan karena keterbatasan informasi ataukah karena kekurangan kemauan untuk mencari literasi melihat dunia teknologi yang terus berkembang dan semakin canggih dewasa ini. Namun tulisan saya kali ini tidak sedang membahas tentang fenomena ini.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi penggosokan lensa dengan mesin freeform yang dipelopori oleh Zeiss, sekarang lensa yang digosok dengan mesin freeform pun semakin hari semakin menjamur dengan harga yang bervariatif sesuai dengan kualitas dan teknologi yang disematkan didalamnya.Â
Walaupun sejujurnya pengertian tentang compensated power ini di pasaran masih sangat ambigu dan mungkin agak sulit dimengerti.Â
Saya akan coba menjelaskan tentang compensated power dan korelasinya dengan position of wear ini dengan penjelasan sesederhana mungkin dan sebisa mungkin menghindari perhitungan fisika dan matematika.
Pertama-tama kita harus mengingat kembali terlebih dahulu sifat dasar lensa seperti yang kita pelajari saat masih SD. Lensa cembung atau power plus sifatnya memperbesar bayangan dan mengkonvergensikan cahaya, sedangkan lensa cekung atau power minus sifatnya memperkecil bayangan dan mendivergenkan cahaya.Â
Dari konsep dasar ini kita bisa mengetahui ternyata ukuran pada lensa kacamata yang baik tidak sesederhana ukuran resep kacamata dari ophthalmologist atau optometrist lalu diejawantahkan secara langsung kedalam penggosokan lensa kacamata.
Contoh sederhana misalnya lensa kacamata dengan ukuran power spheres -4.00 dioptri, lensa tersebut akan benar-benar terbaca memiliki ukuran power spheres -4.00 dioptri jika hanya titik focus lensa tersebut ditempatkan tepat di mires alat lensometer dan jarak penempatan lensanya pun tepat. Namun kenyataannya model kacamata tidak selalu orthos begitupun dengan anatomi fisiologi wajah dan postur kepala manusia.Â
Ada yang berhidung mancung ada yang minimalis, ada bentuk wajah orang asia dan ada juga bentuk wajah orang eropa. Sesederhana hal-hal tersebut pun sudah dapat mengubah parameter bingkai kacamata menjadi tidak standar lagi.
Ada pun jarak standar agar ukuran power lensa kacamata tepat sesuai dengan kebutuhan pada resep ukuran mata adalah ketika sisi belakang lensa kacamata berjarak sekitar 10-12 mm dari kornea mata.Â
Oleh karena itu semakin jauh jarak antara sisi belakang lensa kacamata dari kornea mata maka akan menghasilkan tambahan ukuran plus, sedangkan semakin dekat jarak antara sisi belakang lensa kacamata dengan kornea mata maka akan menghasilkan tambahan ukuran minus. Inilah mengapa penyetelan kacamata seringkali dapat membantu memperbaiki sedikit ukuran resep kacamata yang salah.Â
Misal pada kasus kacamata dengan lensa minus, jika ukuran kacamata sedikit lebih tinggi dari resep maka kacamata bisa di stel dibuat agak menjauh menjauh dari mata, sedangkan jika ukuran lensa kacamata lebih rendah maka kacamata di stel agar lensa semakin mendekat dengan kornea mata.
Itu baru membahas tentang jarak vertex distance saja sudah sepengaruh itu terhadap power lensa kacamata. Belum lagi jika kita membahas tentang sentrasi dimana ada monocular pupil distance dan pupil vertical didalamnya.Â
Kemudian belum kita bahas sudut pantoscopic, wrap angle dari bingkai kacamata. Ada banyak sekali parameter yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap kualitas penglihatan seseorang ketika menggunakan kacamatanya.
Itu lah sebabnya dalam salah satu penelitian Darryl Meister seorang ABO Master menyatakan bahwa misalnya ketika seseorang mendapatkan resep kacamata dengan ukuran spheres +4.00 dengan sudut pantoscopic sebesar 10 derajat dengan kelengkungan bingkai kacamata sebesar 8 derajat maka jika penggosokan lensanya hanya tetap standar spheres +4.00 maka dijamin pemakai kacamata tersebut akan merasakan ketidaknyamanan ketika menggunakan kacamata tersebut karena dengan sudut pantoscopic dan wrap angle sebesar itu akan menghasilkan banyak penyimpangan bayangan dan juga sempitnya lapang pandang penglihatan.
Dan berdasarkan kalkulasi yang dilakukan oleh Darryl Meister untuk ukuran resep dan parameter lensa tersebut maka agar performa lensa menjadi optimal dan pemakainya merasa nyaman saat mengenakannya maka lensa seharusnya dibuat dengan ukuran spheres +3.87 dan cylinder sebesar -0.12, dan ini baru contoh sebelah mata dengan resep sesederhana spheres +4.00 saja sudah banyak yang harus kita perhatikan demi kenyamanan customer atau pasien kita, bagaimana jika resepnya kompleks dan pada dua mata?
Oleh karena itu seyogyanya dunia optik di Indonesia mulai peduli dan sadar akan pentingnya pengukuran sentrasi dan position of wear secara aktual sesuai dengan anatomi dan fisiologi customer kita.Â
Dan sesungguhnya kita pun tidak akan direpotkan dengan perhitungan fisika dan matematika yang kompleks kok, karena setiap produsen pada umumnya secara otomatis memiliki software untuk mengkalkulasinya. Tinggal kesadaran kita sebagai seorang eye care professional mau atau tidak melakukan pengukuran sentrasi dan position of wear yang tentunya dikorelasikan dengan parameter bingkai kacamata yang customer kita pilih. *iap (disarikan dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H