Sepeninggal Ibu kita Raden Ayu Kartini yang wafat karena postpartum preeklamsia empat hari setelah melahirkan putranya Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 17 September 1904, namun spirit agar perempuan dapat diberikan kesempatan yang sama dalam hal meraih cita-cita, belajar, memperkaya diri, dan berbagai hal lainnya tidak terhenti begitu saja. Di zaman dimana terjadi kemerosotan kedudukan wanita pada era kolonial tersebut tentunya sangat bertolakbelakang dengan budaya di nusantara dimana wanita begitu ditinggikan dan dimuliakan bahkan bisa menjadi pemimpin pemerintahan, sebutlah Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga yang menguasai pantai utara Jawa Tengah, Tribhuwana Wijayatunggadewi yang merupakan Ratu dari Kemaharajaan Majapahit serta Ratu Kalinyamat yang merupakan penguasa Jepara yang memiliki kemampuan membangun kekuatan angkatan laut yang luar biasa pada masanya.
Seorang gadis keturunan bangsawan Sunda pun kelak akan terlahir menjadi pahlawan nasional yang akan melanjutkan spirit kesetaraan gender tersebut, namanya Raden Dewi Sartika.
Kemunduran posisi wanita didalam struktur sosial masyarakat di nusantara disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya feodalisme yang berkembang pada zaman Kesultanan Mataram menempatkan istri/wanita sebagai lambang status sang pria/suaminya yang mana hal ini mengubah status wanita dari subjek menjadi objek. Kedatangan agama Islam dengan segala sisi positifnya namun turut pula membawa budaya Arab tentang perempuan yang menganggap wanita itu lebih rendah dari laki-laki. Demikian juga beberapa kebiasaan yang ada didalam adat seperti perkawinan dibawah umur (kawin gantung), kawin paksa melalui perjodohan orang tua. Kemerosotan ekonomi masyarakat di nusantara pada zaman kolonial pun turut menambah kemerosotan secara umum, terutama kepada penduduk di pulau Jawa.
Dewi Sartika lahir di Cicalengka (Kab. Bandung) pada tanggal 4 Desember 1884 dari pasangan bangsawan Sunda yang bernama Raden Rangga Somanegara seorang Patih Bandung dan Nyi Raden Ayu Rajapernas anak dari Bupati Bandung Raden Adipati Aria Wiranatakusumah IV. Budaya pada saat itu anak-anak gadis dari golongan priyayi sampai denan usia 10 tahun memiliki kehidupan yang menyenangkan seperti teman-teman sebayanya dari kalangan biasa sampai batas-batas tertentu. Batas-batas disini misalnya tidak boleh bermain dengan sembarangan anak. Beruntung Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi yang memiliki pemikiran cukup progresif pada zamannya. Walaupun bertentangan dengan adat yang berlaku saat itu namun kedua orang tuanya Dewi Sartika tetap bersikeras untuk menyekolahkan Dewi Sartika di sekolahan orang Belanda.
Di sekolah Belanda (Hollandsch lnlandsche School) inilah Uwi (nama panggilan Dewi Sartika) belajar menulis dan membaca baik bahasa Melayu ataupun bahasa Belanda serta pengetahuan umum lainnya. Selain itu Uwi pun dapat bertemu dengan teman-teman dari bangsanya sendiri ataupun dari bangsa Belanda. Walaupun pendidikan ini berlangsung tidak lama namun telah berhasil menanamkan rasa semangat belajar yang besar, rasa ingin tahu yang mendalam serta kemampuan analisis yang tajam pada diri Uwi.
Passion Uwi di dunia pendidikan terutama dalam hal kesetaraan sosial dan kesetaraan gender sudah dapat terlihat sejak dini. Berawal dari kebiasaannya bermain sekolah-sekolahan dan dia lah yang menjadi gurunya bersama anak-anak pelayan dan anak-anak pegawai rendahan lain sebagai muridnya. Pernah suatu ketika terjadi kegaduhan yang menggemparkan dan menaikan nama daerah Cicalengka dimana tiba-tiba anak-anak kalangan rendah disana bisa menggunakan bahasa ataupun kosakata berbahasa Belanda. Dan mudah kita tebak bagaimana anak-anak kaum "jelata" disana mendadak bisa bahasa Belanda, ya benar Uwi lah yang mengajari mereka berbahasa Belanda didalam permainan mereka sehari-hari.
Konon karena sang ayahanda dikatakan ikut terlibat dan menjadi tersangka didalam peristiwa pemasangan dinamit pada bulan Juli tahun 1893, sang ayah pun diasingkan ke Ternate dengan serta merta seluruh kekayaan dan aset yang dimiliki disita oleh negara. Sebagai bentuk kesetiaan seorang istri, ibunda Uwi pun ikut bersama sang ayah ke tempat pengasingan di Ternate. Uwi pun kini terpaksa dititipkan kepada pamannya seorang ambtenaar yang disegani yang bernama Raden Demang Suria Kartahadiningrat. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Uwi dengan status sebagai anak dari orang yang dibuang maka Uwi pun diperlakukan dingin oleh orang-orang di sekitarnya, baik oleh para priyayi bahkan oleh anak-anaknya.
Bahkan sang Paman pun tidak menganggap Uwi sebagai anaknya, namun lebih sebagai seorang pelayan. Di sinilah Uwi melewati masa remajanya yang ambivalen, satu sisi darah kebangsawanan Uwi tidak diragukan lagi sehingga bisa menikmati sekolah detara dengan anak-anak para priyayi. Namun disatu sisi sebagai anak orang yang dibuang Uwi seperti dikucilkan dan mendapatkan perlakuan yang keras dan menyedihkan dari orang-orang di sekitarnya.
Namun segala kesedihan dan penderitaan ini tidak menyebabkan Uwi murung dan depresi serta menarik diri dari pergaulan, justru tekad untuk bangkit kembali semakin kuat tumbuh. Uwi mengetahui bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan nama baik dan kehormatan keluarganya adalah dengan cara berbuat baik kepada mereka yang termarjinalkan. Uwi berharap dengan pengabdiannya kepada masyarakat kelak akan memulihkan kehormatan keluarganya seperti dulu.
Semangat dan mimpi Uwi terhadap dunia pendidikan kaum wanita inlander kemudian dituliskan kedalam buku yang berjudul De Inlandsche Vrouw (Wanita Bumiputera). Uwi menyadari bahwa yang paling penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah melalui jalan pendidikan dan kesehatan.