[caption caption="Sukarelawan PMI Bandung memberikan bantuan alat sekolah kepada anak-anak 1950 (PMI)"][/caption]
Suatu sore, 24 Juni 1859, Jean Henry Dunant melewati desa kecil Italia bernama Solferino dalam perjalanan menuju Aljarzair untuk urusan bisnis. Pada hari yang sama di desa tersebut sedang terjadi peperangan jarak dekat antara Austria melawan tentara gabungan Perancis dan Sardinia. Sekitar 33 ribu orang menjadi korban luka, sekarat dan meninggal. Kondisi mengerikan akibat perang, membuat Dunant menunda melanjutkan perjalanan. Dunant mengajak penduduk desa untuk bersama mengevakuasi para korban perang ke gereja dan diberikan perawatan sederhana. Dunant menyadari akan keterbatasan kemampuan dan perlengkapan dalam melakukan pertolongan, sehinga mengajak dokter kedua pihak yang berperang untuk bergabung dan membawa kebutuhan pertolongan dari rumah sakit yang berperang untuk memberikan pertolongan. Kedua belah bersedia adalah akibat slogan “Siamo Tutti Frateli” atau Kita Semua Bersaudara. Tindakan Dunant melakukan pertolongan dan mengorganisir orang-orang untuk membantunya adalah asal mula kegiatan kerelawanan. Melihat situasi saat itu terbersit gagasan:
“Apakah tidak mungkin, di masa damai dan tenang kita membentuk lembaga bantuan yang bertujuan memberikan perwatan kepada mereka yang terluka dalam masa perang dengan tekun, setia dan oleh sukarelawan terlatih?” tulisnya pada buku “Un Souvenir de Solferino” beberapa saat setelah kembali ke Jenewa, Swiss.
Tindakan dan pernyataan Dunant di atas telah menyentuh tiga unsur konsep kerelawanan saat ini, yaitu: Ada motivasi yang kuat untuk melakukan tindakan membantu sesame dari diri pribadi, kemudian ada unsur keterlibatan orang-orang sebagai bagian dari kekuatan masyarakat dan pembentukan lembaga tertata yang secara khusus mengorganisir orang-orang menyalurkan jiwa kesukarelawanannya.
Perspektif Kerelawanan
Bencana gempa dan tsunami di Aceh-Nias tahun 2004 menjadi momentum pertumbuhan sikap kerelawanan dan kedermawanan di Indonesia. Bencana dahsyat yang memakan korban 126.000 orang meninggal, ratusan ribu luka serta 37.000 hilang tersebut telah menarik empati dari masyarakat dunia untuk beramai-ramai memberikan bantuan. Aksi-aksi bantuan tersebut menjadi contoh baik yang mendorong berkembangnya sikap kepedulian terhadap sesama di masyarakat, Pertanyaannya adalah: Bagaimanakah cara orang-orang mengungkapkan rasa kepeduliannya terhadap sesame?
Sebuah definisi menyatakan:
“Relawan adalah pihak-pihak yang menyumbangkan tenaga, pikiran, pengetahuan dan keahliannya kepada pihak lain yang membutuhkan, untuk mencapai sebuah tujuan. Pada dasarnya fitrah individu adalah kebaikan, maka menjadi relawan merupakan salah satu cara untuk melakukan kecenderungan individu kebaikan melalui aksi nyata yang memberikan manfaat bagi pihak lain”. (Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis, Hilman Latief, Gramedia, 2010).
Definisi di atas memberikan gambaran pada penyaluran kepedulian terhadap sesama bisa disalurkan dengan berbagai cara sesuai kapasitas masing-masing. Bagi yang mempunyai kapasitas finansial dengan mendermakan hartanya, sedangkan yang bisa meluangkan waktunya bisa menyumbang tenaga, pikiran dan keahliannya. Bagi seorang sukarelawan, pamrih yang bersifat finansial bukanlah hal yang utama. Sukarelawan lebih mengutamakan kerja pelayanan daripada penghargaan secara individual. Sikap demikian banyak diakomodir oleh lembaga sosial kemanusiaan dan keagamaan.
Bagi umat beragama sikap kerelawanan adalah bagian dari ibadah seperti yang disampaikan Islam dalam Al-Qur’an:
“Dan tolong-menolong engkau semua atas kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Al-Maidah: 2).
Sedangkan untuk umat Kristiani mengungkapkan konsep tolong menolong adalah bahwa manusia sebagai mahluk sosial yang saling berhubungan dan saling membutuhkan maka diperlukan adalah saling tolong menolong.
“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu mememuhi Kristus” (Galatia 6:2).
Menyalurkan hasrat kepedulian kepada sesama melalui perbuatan baikm saat ini sudah terlembagakan menjadi sebuah tanggung jawab sosial, baik secara individu maupun kelompok. Sebagai contoh konsep urunan (Crouwd Founding) menjadi tren yang baik untuk mewujud nyatakan kepedulian bersama, walaupun konsep tersebut telah ada sejak lama dalam budaya Indonesia yaitu gotong royong.
Menjadi Sukarelawan
Masyarakat sipil yang kuat dapat dipastikan memiliki kerelawanan yang tinggi. Amerika (AS), Inggris, Kanada dan Belanda dikenal sebagai negara yang sangat mengutamakan kerelawanan. Kerelawanan telah menjadi tradisi kuat dan menjadi bagian gaya hidup masyarakat.
Di AS, 55% penduduknya terlibat dalam dunia kerelawanan. Persentase tersebut terdiri dari 49% pria dan 61% perempuan, sekitar 70% menjadi sukarelawan di organisasi nirlaba, 20 % menjadi sukarelawan organisasi pemerintahan, dan 10% menjadi sukarelawan untuk lembaga profit misalnya rumah sakit, panti asuhan. Di AS, siapapun dapat menjadu sukarelawan. Setiap sukarelawan menyumbangkan waktunya sekitar 4.2 jam.
Di Inggris, ada sekitar 22 juta sukarelawan. Waktu yang disumbangkan oleh semua sukarelawan di Inggris selama satu minggu adalah sekitar 90 juta jam per minggu. Berarti setiap sukarelawan telah memberikan kontribusi ke negara tidak kurang dari 40 miliar poundsterling per tahun.
Scheineider dari American Women’s Club mengatakan bahwa dari hasil penelitian di 22 negara menunjukan kerelawanandi AS sama dengan 10,5 juta pekerjaan penuh waktu. Pada tahun 2000, lebih dari 6,5 juta orang Kanada menjadi sukarelawan. Rata-rata seorang sukarelawan menyumbangkan waktunya sekitar 162 jam per tahun, yang berarti waktu yang disumbangkan oleh semua Sukarelawan di Kanada 1,05 milyar jam. Hal ini sama dengan 549.000 pekerjaan penuh waktu. (National Survey of Giving, Volunteering, and Participating in 2000).
Di Indonesia, walaupun kita tidak bisa menemukan data akurat, namun peningkatan minat terhadap kerelawanan dapat terlihat pada indikasi jumlah relawan yang tergabung dalam lembaga sosial berbasis sukarelawan seperti PMI. Sebelum 2004, jumlah sukarelawan di PMI menurut data Divisi Sukarelawan PMI tahun 2003 adalah 150-300 ribu, sedangkan tahun 2013 tercatat sekitar 1,5 juta Sukarelawan. Ada peningkatan dramatis.
Masyarakat kita masih banyak yang lebih suka menjadi sukarelawan secara pribadi tanpa bergabung dengan sebuah lembaga dengan membantu atau menyumbang langsung kepada yang membutuhkan. Demikian juga pada saat berdonasi uang lebih suka tidak mencantumkan nama seperti NN (No Name) atau hamba Allah. Sebenarnya tidak masalah, namun kadang menyulitkan dalam pendataan dan akuntabilitas.
Menuju Masyarakat Sejahtera
Ke depan, fokus kita bersama dalam kerelawanan seharusnya dapat mewujudkan masyarakat sejahtera. Bukan hanya memberikan bantuan sesaatr. Namun, antara masyarakat sipil, lembaga sosial kemanusiaan, korporasi atau lembaga profit dengan pemerintah bersinergi mengarahkan sikap kerelawanan menjadi sistem yang mensejahterakan.
(Indra Yogasara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H