HGB dan Kawasan Perairan: Perlu Larangan Tegas !, Revisi UU Agraria 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menghancurkan dan menghilangkan Tanah-Tanah milik Kesultanan dan Kerajaan Nusantara  lainnya.
Dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Guna Bangunan (HGB) secara prinsip diatur untuk mendirikan bangunan di atas tanah. Namun, kawasan perairan atau laut seharusnya tidak pernah dianggap sebagai tanah yang dapat diberi HGB, apalagi untuk pembangunan komersial.
Sayangnya, karena tidak ada ketentuan eksplisit yang melarang atau membatasi pemberian HGB di kawasan perairan, celah ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan pembangunan di atas air. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan melindungi masyarakat.
Mengapa Pembangunan di Atas Air Harus Dilarang?
- Merusak Ekosistem Laut dan Pesisir
Kawasan perairan memiliki ekosistem unik yang sangat sensitif, seperti terumbu karang, mangrove, dan habitat laut lainnya. Pembangunan di atas air, baik melalui reklamasi atau struktur apung, mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengancam keberlangsungan hidup biota laut. - Mengancam Kehidupan Nelayan dan Masyarakat Pesisir
Nelayan dan masyarakat pesisir yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka akan terdampak langsung jika akses ke perairan dibatasi oleh pembangunan. Tanpa akses ke laut, mereka kehilangan hak untuk hidup dan bekerja. - Pelanggaran Asas Kepentingan Bersama
Laut dan perairan adalah milik publik. Memberikan HGB di kawasan ini kepada pihak swasta sama saja dengan merampas sumber daya yang seharusnya menjadi hak bersama rakyat. - Celah untuk Mafia Tanah dan Kolusi
Pemberian HGB di kawasan perairan membuka ruang bagi mafia tanah dan kolusi antara birokrat dan pengembang, yang bertujuan untuk mengkomersialkan sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis.
Perlu Larangan Tegas dalam Regulasi
Untuk mencegah praktik ini, diperlukan aturan yang secara eksplisit melarang penerbitan HGB di kawasan perairan. Langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Revisi UU Agraria
Tambahkan pasal yang secara tegas menyatakan bahwa kawasan perairan atau laut tidak dapat dijadikan objek HGB. - Penguatan Regulasi Wilayah Pesisir
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil perlu diperkuat dengan larangan pembangunan komersial yang merugikan ekosistem laut. - Moratorium Pembangunan di Laut
Hingga ada regulasi yang tegas, pemerintah harus memberlakukan moratorium terhadap semua bentuk pembangunan di atas air. - Penegakan Hukum dan Pengawasan
Pastikan ada pengawasan yang ketat terhadap penerbitan HGB, terutama di kawasan yang seharusnya dilindungi.
Pembangunan di atas air melalui penerbitan HGB merupakan pelanggaran prinsip pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Larangan eksplisit harus segera dibuat untuk mencegah eksploitasi kawasan perairan demi kepentingan komersial. Kawasan laut harus tetap menjadi milik publik dan dijaga demi keseimbangan ekosistem serta keberlangsungan hidup masyarakat pesisir.
Hilangnya Hak atas tanah milik Kesultanan dan Kerajaan Nusantara :
Pengaruh UU No. 5 Tahun 1960 terhadap Tanah-Tanah Milik Kesultanan dan Kerajaan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memiliki dampak signifikan terhadap penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia, termasuk tanah-tanah yang dimiliki oleh kesultanan dan kerajaan. Berikut adalah penjelasan mengenai bagaimana UUPA menghancurkan dan menghilangkan hak atas tanah milik kesultanan dan kerajaan:
1. Penguasaan Negara atas Tanah
UUPA menegaskan bahwa semua tanah di Indonesia dikuasai oleh negara. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, hak-hak atas tanah yang sebelumnya dimiliki oleh kesultanan dan kerajaan dianggap tidak lagi sah, karena negara mengambil alih penguasaan atas semua sumber daya alam, termasuk tanah.
2. Penghapusan Hak Tradisional
UUPA tidak mengakui hak-hak tradisional yang dimiliki oleh kesultanan dan kerajaan. Sebelum adanya UUPA, banyak tanah yang dikuasai oleh kesultanan dan kerajaan memiliki status hukum berdasarkan adat dan tradisi. Namun, dengan diberlakukannya UUPA, hak-hak tersebut dihapuskan dan digantikan dengan sistem hukum agraria yang baru, yang lebih berorientasi pada kepemilikan individual dan pendaftaran tanah.
3. Pendaftaran Tanah
Pasal 19 UUPA mengamanatkan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum. Proses pendaftaran ini sering kali tidak mengakui atau mengakomodasi hak-hak tanah yang dimiliki oleh kesultanan dan kerajaan. Banyak tanah yang sebelumnya dikuasai oleh mereka tidak terdaftar, sehingga hak-hak atas tanah tersebut menjadi tidak jelas dan berpotensi hilang.
4. Redistribusi Tanah
UUPA juga mengatur redistribusi tanah untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah. Dalam proses ini, tanah-tanah yang sebelumnya dimiliki oleh kesultanan dan kerajaan dapat dialokasikan kepada individu atau kelompok lain, yang lebih lanjut menghilangkan hak-hak tradisional mereka. Hal ini sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan sejarah dan konteks sosial yang ada.
5. Konsekuensi Sosial dan Ekonomi
Penghilangan hak atas tanah milik kesultanan dan kerajaan tidak hanya berdampak pada aspek hukum, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang besar. Banyak komunitas yang kehilangan akses terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka, yang sebelumnya dikelola oleh kesultanan atau kerajaan. Hal ini menyebabkan perubahan struktur sosial dan ekonomi yang signifikan di masyarakat.
Â
Secara keseluruhan, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berperan dalam menghancurkan dan menghilangkan hak atas tanah milik kesultanan dan kerajaan dengan cara mengalihkan penguasaan tanah kepada negara, menghapus hak-hak tradisional, dan menerapkan sistem pendaftaran tanah yang tidak mengakomodasi kepemilikan sebelumnya. Dampak dari kebijakan ini sangat luas, mempengaruhi struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI